***
Aku sudah berada di Kantor Polisi, duduk manis seraya mendengarkan bimbingan rohani dari pihak kepolisian. Sesekali aku menguap, rasanya aku ingin tidur nyenyak saja, daripada mendengar ocehan mereka."Namamu siapa?" Pak Polisi didepanku bertanya serius, sesekali menatapku heran. Ada apakah?
"Rara, om. Eh, maksudnya Pak."
"Boleh bapak minta nomor Hp orang tuamu?"
Deg! Gawat, bisa runyam kalau ayah dan ibu sampai tahu aku disini. Aduh, aku harus bagaimana?
"Maaf, Rara, mana Hp kamu." Pak Polisi berperut buncit tersebut memaksa agar aku memberikan gawaiku padanya, seakan-akan ia tahu kalau aku keberatan jika ia menelpon ayah dan ibu.
"B..buat apa, Pak?"
"Bapak mau menelpon orang tuamu!"
Tuh, kan? Ah, apes! Bagaimana reaksi ibu nanti? Siap-siap aja ini badan jadi sasaran tangannya.
***
"Rara! Sekarang alasan apa lagi yang akan kamu berikan pada ibu, hah?! Belum puas kamu membuat ibu malu?! Mau kamu apa, sih?! Ayo jawab, jangan diam saja!" teriak ibu sesekali mendaratkan tangannya dikepalaku, bukan membelai, tapi memukul."Maafin, Rara, bu." aku langsung berlutut dikaki ibu, berharap ia luluh dan memafkanku.
"Berdiri kamu! Ibu bilang berdiri!" bentak ibu langsung menjambak rambutku, membuat kepalaku serasa ditusuk-tusuk.
"Aduh, ampun, bu! Sakit, bu. Rara ngaku salah, bu. Ampun bu." kucoba memeluk ibu, namun ibu selalu menepis dan mendorongku agar menjauh darinya.
Kulirik Ayah sekilas, ia nampak menundukkan kepala, sama sekali tidak melihatku barang sebentar. Aku tahu, ayah tidak berani melerai. Jadi, percuma meminta pembelaan darinya.
"Ibu, sudah, kasihan Rara." cetus Kak Rey tiba-tiba, membuat ibu semakin murka.
"Rey, kamu diam dan masuk kamarmu! Cepat!"
Tanpa menunggu lama, Kak Rey bergegas masuk kedalam kamarnya. Ia tidak pernah berani membantah ucapan ibu, meskipun itu salah.
"Sekarang, ibu tanya baik-baik, kenapa kamu ikut balapan liar itu, ha?!" ibu terlihat sangat marah, sorot matanya begitu tajam, membuat siapapun enggan menatap.
"Ra..Rara, Rara sengaja ikut balapan liar itu karena Rara ingin jajan, bu." jawabku jujur.
"Jajan? Sini kamu, mendekat pada ibu."
Mendengar ucapan ibu, mataku berbinar. Ini pertanda baik, Mungkin ibu luluh dan sudah tidak marah lagi padaku. aku beranjak mendekatinya, dan...
PLAK!!
ternyata aku salah. sekali lagi ia menamparku, seperti biasanya.
Kali ini aku tidak dapat membendung tangisku, hatiku sakit sekali dengan perlakuan ibu.
"Dasar anak setan! Kenapa kamu tidak pernah mau menurut pada ibu, Rara?! Kemarin Mak Ria, sekarang Polisi, besok apalagi, hah?! Apa perlu ibu menyetop kamu sekolah?! Iya?!" mata ibu mulai berkaca-kaca, emosinya menggebu-gebu.
"Maafin, Rara, bu." hanya kata itu yang bisa terucap dari bibirku. Hati ini terlalu beku untuk sekedar kata janji. Tidak, aku tidak mau berjanji pada ibu.
"Oke, mulai besok, motor kamu ibu sita! Tidak ada uang jajan dan sarapan pagi selama seminggu, dan satu lagi, Hp kamu juga ibu sita!!" ucap ibu dengan tegas, raut wajahnya menyiratkan kekecewaan mendalam.
"Tapi, bu..." aku ingin sekali protes, tapi kuurungkan. Aku tidak mau menambah murkanya, ujung-ujungnya pipiku lagi yang jadi sasaran.
"Sekarang kamu masuk kedalam kamar, dan jangan kemana-mana! Kamu boleh turun saat jam makan malam, mengerti?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
RARA
RomanceSINOPSIS: Sering menerima perlakuan tidak adil dari ibunya, membuat Rara tumbuh menjadi gadis tidak biasa. gadis cantik blasteran itu menjadi kebal rasa. Karena bandel, Rara sering mendapat teguran dari pihak sekolah perihal nilainya yang buruk dan...