Part 39

750 70 8
                                    

"Apa kamu bilang? Jahat? Hey, Ibumu itu yang jahat! Dia seenaknya menggugat Ayah tanpa mengundang Ayah dalam sidang. Bukan hanya itu, dengan teganya ia mengambil alih semua aset dan mengubah hak kepemilikan atas namanya! Kamu tahu tidak? Ibumu sudah sangat keterlakuan, ia juga memblokir semua kartu kredit Ayah. Dan gara-gara Ibumu juga, Ayah harus susah payah mengurus administrasi Ryu! Sekarang siapa yang jahat, hah?" Ayah berucap lantang padaku, wajahnya merah padam sebab emosi.

Aku heran, kemana Bibi Tanuja dan Paman? Kenapa mereka meninggalkan Ibu hanya berdua dengan Kak Rey? Sekarang lihat, Ayah nekat dan leluasa datang ke sini serta memusuhi Ibu.

"Harusnya Ayah sadar, Ibu melakukan semua itu karena Ayah yang lebih dulu memulainya. Seandainya tidak ada penghianatan, mungkin semua masih baik-baik saja. Tapi sudahlah, sudah terlambat." aku berusaha santai, menetralisir hati yang mulai deliputi emosi.

"Tapi 'kan Ayah sudah minta maaf? Ayah hanya manusia biasa yang tidak luput dari khilaf. Ibumu saja yang berlebihan dan membesar-besarkan masalah ini! Soal Delta, ia menerima Ibumu, kok!" tampik Ayah sok merasa paling benar, padahal ia sendiri biang dari masalah ini.

"Khilaf? Ayah, Khilaf itu hanya sekali, Bukan berkali-kali. Apalagi sampai bertahun-tahun! Ayah bilang Mbak Delta menerima Ibu? Ahahahah, jangan bodoh, Ayah. Mana ada seorang madu bisa seikhlas itu? Andaikata itu benar, kenapa wanita itu malah berencana melenyapkan Ibu? Sudahlah, Ayah. Semuanya sudah terlambat! Dan soal Mbak Dekta, Rara pastikan wanita itu bakal mendekam di dalam penjara seumur hidupnya."

Semakin ke sini, aku semakin sulit menekan emosi. Kalau pun aku mengusir Ayah, bagaimana caranya? Pria ini seperti sudah kehilangan akal. Dasar egois!

"Kamu benar-benar tidak tahu diuntung, Rara! Bukannya membantu, malah balik melawan Ayah! Merasa sudah besar kamu sekarang, iya?"

"Maaf, Ayah. Rara tidak bermaksud membangkang. Tapi memang Ayah yang salah, kenapa harus mengelak? Sudahlah, Ayah. Lebih baik Ayah pergi dari sini. Rara hanya khawatir, jangan sampai Kak Rey nekat menghajar Ayah kandungnya."

"Menghajar, Ayah? Kecuali Rey bukan anak Ayah, barulah ia nekat melakukan itu!"

"Ayah, Rara mohon ... Pergi dari sini, sebelum Ibu dan Kak Rey melakukan sesuatu yang tidak akan pernah Ayah duga. Belum lagi jika Bibi Tanuja pulang dan tahu kalau Ayah di sini. bakal runyam semuanya, Ayah! Jangan mempersulit diri sendiri."

"Lancang sekali kamu! Baiklah, Ayah akan pergi. Tapi ingat, Rara. Selama Surat Cerai belum sampai ke tangan Ayah, itu artinya kami masih sah suami istri. Ingat itu baik-baik! Dan satu lagi, Ayah akan terus menuntut hak Ryu atas aset itu."

Astaga, Ayah. Jadi, ia masih mengincar Aset itu? Padahal ia  tahu sendiri, Ryu sama sekali tidak memiliki hak. Hah, ingin sekali aku menghajar Ayah, agar pria itu sadar. Ayah sudah kehilangan akal. Bukan hanya itu, ia sendiri dengan tidak tahu malunya menuntut warisan untuk Ryu. Miris sekali!

***
Aku mengintip lewat celah pintu kamar yang sedikit terbuka. di dalam nampak Kak Rey tengah menenangkan Ibu, sementara Ibu masih betah dalam tangis kemarahan. Ku putuskan untuk tidak masuk ke dalam, tidak mau mengganggu Ibu.

Tidak berselang lama, deru mobil terdengar memasuki pekarangan rumah Bibi Tanuja. Sepertinya, Bibi sudah pulang.

Beberapa saat kemudian, Paman masuk sambil membawa tas kresek besar. Isinya tidak lain adalah buah dan sayuran. Sepertinya mereka baru pulang dari pasar.

"Rara? Kamu di sini? Kapan datangnya?" tanya Paman sesaat setelah ia meletakkan tas kresek yang dibawanya di atas meja.

"Iya, Paman. Rara baru datang, kok. Kangen sama Ibu, jadinya jenguk ke sini." aku meraih punggung tangan Paman, lalu menciumnya takjim.

RARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang