RARA #21
Kupercepat lariku, berharap bisa mencegat wanita tersebut sebelum ia masuk dan mengendarai mobilnya pergi dari sini.
"Hei, tunggu! Jangan lari!" teriakku dengan geram, sekilas ia menatapku, tersenyum sambil menyeringai. Wajah itu, seperti mirip seseorang, tapi siapa?
Sesaat kemudian, mobilnya melaju kencang. Wanita tersebut tidak perduli dengan teriakan dan makian yang keluar dari mulut tukang parkir. Mungkin, ia belum bayar sewa parkir.
Sial! Aku kehilangannya, lariku kurang cepat. Aku harus memberitahu Pak Bima, karena ini menjuru ke bukti dan petunjuk.
Astaga, ponselku! Dimana ponselku? Setahuku tadi ada di dalam saku, tidak mungkin jatuh, kan? Aissh, sial! Bagaimana aku memberitahu Pak Bima? Aku sendiri tidak hafal nomor kontak suamiku.
"Rara, kamu ngapain di sini? Yang nungguin Ibu siapa?" Ayah tiba-tiba datang dan mengagetkanku.
"Ayah? Em, a...anu, Rara cari angin segar. Yah, Bibi Tanuja dan Paman Tom datang. Saat ini mereka sedang menunggui Ibu di ruang ICU." sebenarnya aku ragu memberitahu Ayah, aku takut Ayah marah.
"Apa? Bibi Tanuja? Kok bisa? Siapa yang beritahu mereka, kalau Ibu kritis?" Ayah tampak geram, tidak suka dengan kedatangan Bibi Tanuja dan Paman Tom."Rara yang kasih tahu, Ayah." ucapku pelan sambil memilin ujung t-shirt yang kukenakan, guna mengurangi rasa takut.
"Apa? Kamu yang beritahu mereka? Kamu itu bandel, ya! Sudah Ayah bilang, jangan beritahu mereka perihal Ibu!"
Ayah marah besar. Buktinya, ia menatapku dengan tajam, di senggol sedikit pasti meledak.
"Maafin, Rara, Yah. Apa salahnya kita beritahu? Bibi Tanuja satu-satunya keluarga Ibu,"
"Dasar bodoh! Kamu tahu sendiri, kan? Bagaimana sifat Bibimu itu. Bukannya dengarin Ayah, kamu malah membangkang! Awas saja kalau Bibimu itu memicu keributan di sini, habis kamu!"
Ini pertama kalinya Ayah marah besar, sebelumnya Ayah tidak pernah mengucapkan kata-kata kasar seperti itu, terlebih lagi padaku.
Ayah bergegas masuk ke dalam, wajahnya merah padam menahan emosi. Ah, ini salahku, kenapa juga aku beritahu Bibi Tanuja? Tidak, aku tidak salah. Secara, Bibi Tanuja saudara sepupu Ibu, aku tidak boleh melupakan itu.
***
Sampai saat ini aku gelisah, ponselku belum juga ditemukan. Ini aneh, masa iya ponselku hilang? Seingatku, aku memasukkan ponsel tersebut ke dalam saku, bagaimana ceritanya bisa hilang?Aku dan Kak Rey sudah berusaha mencarinya kemana-mana, tapi nihil, kami tidak menemukannya. Apa mungkin, ponselku jatuh? Atau ponselku dicuri?
"Rara, suamimu menelpon. Ia ingin bicara denganmu." ucap Kak Rey sambil menyodorkan ponselnya padaku.
"Halo, Pak," sapaku seraya mendekatkan ponsel dekat telinga.
"Rara, kamu apa-apaan, sih? Menyuruhku datang ke tempat ini?" omel Pak Bima diseberang sana, sukses membuatku terheran-heran.
"Maksud Pak Bima apa? Ke tempat apa? Jangan aneh-aneh, deh."
"Jangan aneh-aneh bagaimana? Jelas-jelas kamu mengirimiku pesan, memintaku segera datang ke Pabrik Tua dekat danau. Sekarang aku sudah di sini, aku menghubungimu, ponselmu malah tidak aktif. Bikin kesal aja!"
Astaga, apa yang Pak Bima bicarakan? Aku menyuruhnya untuk datang ke Pabrik Tua dekat danau, kok bisa?
"Pak, sumpah demi Allah, Rara tidak mengirim pesan apa-apa, orang ponsel Rara hilang entah kemana."
"Ha? Ponsel kamu hilang? Sejak kapan?"
"Tadi pagi. Rara juga bingung, kenapa ponselnya bisa hilang. Padahal seingat Rara, ponselnya Rara taruh di saku celana. Pas Rara mau menelpon Pak Bima, baru sadar kalau ponselnya sudah hilang."
KAMU SEDANG MEMBACA
RARA
RomanceSINOPSIS: Sering menerima perlakuan tidak adil dari ibunya, membuat Rara tumbuh menjadi gadis tidak biasa. gadis cantik blasteran itu menjadi kebal rasa. Karena bandel, Rara sering mendapat teguran dari pihak sekolah perihal nilainya yang buruk dan...