Part 62

737 57 4
                                    

***
"Sayang ... Mataku kok, kayak muncul uap-uap panas gitu, ya? Napasku juga begitu. Terasa banget di rongga hidung." Pak Bima tiba-tiba berucap disela-sela sarapan pagi.

"Uap-uap panas bagaimana?" tanyaku memastikan. Jujur, aku sendiri tidak mengerti apa yang sedang ia bicarakan.

"Nggak kok, sayang. Mungkin efek lembur semalam. Tapi--" Pak Bima menjeda kalimatnya, seakan ragu mengatakan sesuatu.

"Tapi apa, Pak?" tanyaku sekali lagi. Tidak biasanya suamiku begini, hari ini ia nampak tidak bersemangat.

"Nggak apa-apa. Sudah, lanjutin sarapannya. Oh ya, hari ini jadwal USG, 'kan? Aku antar, ya. Aku pengen ngecek jagoan kecil kita."

"Loh ... Bukannya hari ini Pak Bima ada tugas penting?"

"Bisa diatur. Yang terpenting itu kamu dan calon anak kita."

"Hmm ... Yaudah."

Sekali lagi kuperhatikan suamiku, wajahnya nampak pucat. Apa terjadi sesuatu dengan Pak Bima? Atau jangan-jangan ia sakit? Ah, masa iya, sih?

"Pak ... Pak Bima merasakan sesuatu, nggak? Maksud Rara, Pak Bima kurang enak badan, 'kah?" tanyaku penuh selidik. Tahulah Pak Bima, selalu menyembunyikan sesuatu dariku.

"Nggak kok, Sayang," jawabnya diiringi senyum lebar.

"Benaran?"

"Iya, sayang. Sudah ... Lanjutin sarapannya. Kasihan dedeknya, ntar ia kelaparan gara-gara nungguin kamu yang nggak makan-makan."

"Ehehehe ... Siap, suamiku sayang."

Tidak berselang lama, ponsel Pak Bima berdering. Ia menghentikan aktivitas makannya, dan segera menjawab telepon.

Kuperhatikan Pak Bima yang tengah bercakap-cakap. Tidak sadar, bibir ini mengulas senyum. Ah ... Dipandangi lebih dekat, suamiku ini ternyata lebih tampan dari perkiraanku. Kenapa baru sadar sekarang, ya?

"Ekhem! Pandangannya biasa aja, dong. Baru sadar, ya? Kalau suamimu ini super duper tampan?"

Astaga ... Kenapa aku sampai kecolongan begini, sih? Ketahuan dong.

"Ih, ge'er! Tampan darimana? Yang ada tuh, wajah Pak Bima ngeselin." aku pura-pura marah dan buang muka. Malu dong, aku sampai ketahuan begini.

"Halah ... Kenapa harus gengsi, sih? Ngaku aja kenapa?"

"Ngarep!"

Pak Bima terkekeh, langsung saja ia meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Aish ... Jantungku!

"Sayang ... Em, aku minta maaf, ya? Hari ini aku belum bisa ngantar kamu USG. Barusan IPDA Marcel telepon aku, katanya ada kasus yang harus kami selidiki hari ini. Kamu ... Kamu nggak marah, 'kan?" Pak Bima berucap lirih. Aku tahu, ia sangat mengharapkan hari ini.

"Loh ... Nggak apa-apa kali. Rara 'kan bisa ditemani Bi Tun? Sudah, Pak Bima fokus pada tugas saja."

"Tapi--"

"Sudah, nggak apa-apa. Sekarang lanjutin sarapannya, ya."

Pak Bima tersenyum. Sesaat dikecupnya punggung tanganku. Lantas ia berbisik,

"Makasih, istriku tercinta. Aku janji, lain kali akan temani kamu USG."

"Iyaaaa."

Pak Bima tiba-tiba berjongkok, tidak lama kemudian ia mengecup perut buncitku.

"Jagoan Papa jangan ngambek-ngambek dulu, ya. Kasihan Mama, nggak ada yang jagain," bisik Pak Bima sambil mengelus-elus perutku. Ah ... Pak Bima bisa aja. Kesemsem 'kan aku jadinya?

RARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang