Part 5

756 59 2
                                    


***
Ibu terlihat kecewa, di sampingnya ada Ayah yang mungkin juga kecewa padaku.

"Pihak sekolah sudah menjelaskan semuanya pada ibu, Ra. Sekarang ibu tanya, kamu ada niatan Sekolah atau tidak, Ra?"

Ibu mengusap bulir bening di sudut matanya, ibu menangis.

Tadi pagi, Ibu datang memenuhi undangan dari Kepala Sekolah perihal diriku. Aku yakin, Ibu sudah tahu semuanya. Tentang nilaiku yang buruk, dan masih banyak lagi.

"Bu, maafin Rara."

Saat ini aku tidak bisa berkata-kata. Ibu benar, selama ini aku yang tidak pernah mau mendengarkan ucapannya. Selalu membantah, bahkan menganggap enteng semua perintahnya.

"Sudah berapa kali kamu menyembunyikan surat dari Kepala Sekolah?"

Ibu bertanya dengan nada sendu, membuatku enggan menatap.

"Sudah berkali-kali, bu."

"Bagus! Mulai besok, kamu tidak usah Sekolah lagi. Ayah dan Ibu akan segera menemui Ayahnya Bima, dan segera menikahkan kalian."

Mataku terbelalak mendengar ucapan Ibu, dia akan menikahkan aku dengan Pak Bima? Tidak, aku tidak mau.

"Gak, bu. Rara gak mau!"

"Terserah! Karena sudah tidak mungkin lagi bagi Ibu untuk melanjutkan Sekolahmu, kamu sudah di DO dari Sekolah. Puas kamu?"

Astaga, di DO? aku di DO dari Sekolah? Tidak, ini tidak mungkin.

"Bu, Ibu gak bercanda, kan? Aku belum di DO kan, bu?"

"Ibu tidak bercanda! Kenapa, kamu menyesal? Sudah terlambat, Ibu sudah sangat kecewa padamu Rara. Jadi, terima saja nasibmu."

Ibu bergegas masuk ke dalam kamarnya, meninggalkanku yang masih berdiri mematung.

Kutatap wajah Ayah, wajah yang mulai keriput itu menampakkan kekecewaan mendalam.

"Ayah, tolong Rara, yah. Rara gak mau menikah, Rara masih ingin Sekolah. Kalau Rara sudah si DO dari Sekolah itu, kan bisa cari Sekolah lain. Iya kan, Ayah?"

Aku berharap Ayah mengerti, dan tidak berpikiran pendek seperti ibu. Karena aku yakin, Ayahku seorang pria bijaksana.

"Maaf, Rara. Kali ini Ayah lebih setuju dengan pendapat Ibumu. Kamu sudah keterlaluan. Bukan hanya itu, kamu sudah mencoreng wajah Ayah dan Ibu sebagai orang tuamu."

Mendengar ucapan Ayah, hatiku mendadak nyeri. Air mataku luruh membasahi pipi, menciptakan kegalauan yang hakiki.

"Ayah, Rara mohon, yah. Rara belum mau menikah, Rara masih mau Sekolah, yah. Hiks..hiks..."

Ayah mengusap wajahnya dengan pelan, ia masih enggan menatapku.

"Maafkan Ayah, Ra. Ayah tidak bisa. Mulai sekarang, kamu harus belajar mandiri. Karena sebentar lagi kamu akan menjadi seorang istri, istri seorang Polisi. Sudah, Ayah mau menyusul ibumu."

Sepeninggal Ayah, aku menangis sejadi-jadinya. Aku kecewa, marah, sedih, semuanya campur aduk.

Kenapa Ayah dan Ibu tidak pernah mengerti? Aku hanya seorang bocah yang butuh perhatian dan kasih sayang, tidakkah mereka sedikit peka?

Aku begini karena mereka, karena mereka tidak peduli padaku. Aku sengaja berulah, agar mereka lebih peka. Tapi apa sekarang?

Baiklah, mungkin aku harus menuruti permintaan mereka, dan menikah dengan Pak Bima. Dengan begini, aku akan menjauh dari kehidupan mereka. Aku benar-benar kecewa pada Ayah dan Ibu!

RARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang