Part 38

679 68 4
                                    

"Rara, awas!" pekik Eyang histeris. Aku kaget setengah mati, dan tidak sempat mengelak  saat sepotong besi mendarat di punggungku.

Akh! Perih sekali. Di depanku sudah berdiri tiga orang pria, tampaknya mereka komplotan pemuda tadi.

Tidak berselang lama mereka menyerangku, mencoba memukulkan potongan besi ke tubuhku. Namun, itu bukan masalah. Yang jadi masalah sekarang ialah, Eyang Si Biang Lala pingsan. Entah bagaimana aku sekarang, menolong Eyang atau memberi pelajaran pada tikus pasar ini.

Oke, alangkah baiknya ku tuntaskan dulu urusan yang satu ini. Soal Eyang, aku yakin, sebentar lagi ia akan siuman.

Satu diantara mereka maju, hendak melayangkan potongan besi ke batang leherku. Namun, aku berhasil menangkap pergelangan tangannya. Tidak mau menyia-nyiakan kesempatan, langsung ku layangkan pukulan mengarah ketengah, tepat di Ulu Hatinya.

Dalam hitungan detik, pria tersebut langsung ambruk ke tanah. Ia nampak kesulitan bernapas. Pukulan Momtong Jireugi barusan, mampu melumpuhkannya.

Melihat temannya ambruk, dua pria tersisa ikut menyerang. Namun, dasar aku. akibat kurang fokus, salah satu diantara mereka berhasil meninju rahangku. Akh, rasanya lumayan keram.

Baiklah, aku tidak ingin berlama-lama di sini. Ku rasa, sudah saatnya memberi mainan pada kaki ini. Lumayan, hitung-hitung lagi latihan taekwondo. Ah, bukan, maksudnya mempermantap.

Tinggal satu pria tersisa di depanku, badannya nampak berisi. Ia berlari ke arahku dan mulai mengarahkan sepatu bootnya ke perutku. Secepat kilat aku menggeser posisi, menggaet lengannya dan melayangkan pukulan dari bawah ke atas. Ya, sasaranku tidak lain mengarah ke dagunya. Pria tersebut mengerang kesakitan, sepertinya pukulanku terlalu keras.

Entah kenapa, hari ini emosiku sangat sulit dikontrol. Seandainya tidak ada hukum, sudah ku habisi tikus-tikus ini.

Pria tadi kembali menyerangku, kali ini ia menggenggam sesuatu. Oh, tidak! Itu belati.

"Rara, lari!" teriak Eyang lebih kencang. Apa aku bilang? Eyang hanya pingsan biasa.

Saat jarak pria tersebut semakin dekat, langsung ku serang ia dengan tendangan samping menggunakan pisau kaki,  mendarat tepat di pinggangnya. semoga ginjalnya tidak rusak. Sebab, ini pertama kalinya ku gunakan tendangan tersebut setelah vakum dari dunia Taekwondo.

Ia menjerit nyalang, belati di tangannya terlepas begitu saja. Merasa tidak puas, kembali ku layangkan pukulan mengait. Namun, aksiku kali ini tidak berlanjut saat seseorang tengah meneriakiku.

"Rara, hentikan itu! Jangan lakukan lagi,"

Astaga, Pak Bima? Sejak kapan ia di sana? Kenapa ia di sini? Siapa yang menghubunginya? Aduh, alamat ketahuan ini, mah.

Tidak berselang lama kemudian, sekelompok polisi datang dan mengamankan para tikus-tikus pasar tersebut. Hm, sepertinya Pak Bima baru datang. Semoga ia tidak melihat apa yang tidak seharusnya dilihat.

"Se-sejak kapan Pak Bima di sini?" tanyaku sekedar basa-basi, tangan ini mendadak dingin.

"Sejak kamu melakukan trik yeop chagi, dan melumpuhkan pria itu," jawab Pak Bima dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Ye-yeop Chagi? Pak Bima tahu tendangan itu?" aku penasaran, bagaimana bisa ia tahu Yeop Chagi? Apa jangan-jangan, ia juga bisa Taekwondo?

"Yaiyalah aku tahu, karena aku pernah mempelajarinya saat sekolah dulu. Pada jam ekstrakulikuler. Tapi sayang, aku tidak menguasainya, Sampai sekarang. Sekarang aku tanya, kamu menguasai jurus Taekwondo?"

"Em, anu ... Rara," belum sempat aku menjawab, Eyang datang  dan menyelip di tengah-tengah kami.

"Bima, pokoknya Eyang tidak mau tahu! Pemuda itu harus diproses, begitupula dengan teman-temannya tadi. Mereka sudah kurang ajar sama Eyang, mereka juga sudah menyerang Rara." tandas Eyang dengan emosi menggebu-gebu,

"Iya, Eyang. Mereka itu para preman  yang sudah meresahkan pedagang di pasar ini. Bukan hanya itu, salah satu diantara mereka buronan." jelas Pak Bima.

"Baguslah, Eyang greget banget sama pemuda tadi!" Eyang menghembuskan napasnya dengan kasar, kembali membenahi letak kacamatanya.

"Oh, ya, Pak Bima kenapa bisa ada di sini?" tanyaku penasaran,

"Eyang yang nelpon Bima. Tadi itu Eyang panik banget, jadinya yang terlintas di benak ya, cuma Bima." jawab Eyang.

"Yaudah, sekarang Eyang sama Rara naik mobil Bima, ya? Bima antar,"

"Lah, terus motor Rara gimana? Atau begini saja, Eyang sama belanjaan di mobil Pak Bima, Rara naik motor saja."

"Gak boleh! Ntar kamu nyelinap kemana-mana. Pokoknya aku yang antar, motor kamu biar Troy yang urus. Sudah, ayo kita pulang."

***
Sore ini aku, Eyang, dan Bi Tun tengah duduk di depan teras. Kami menikmati senja sambil ngerujak, duduk lesehan di atas tikar plastik.

"Rara, Eyang gak nyangka kalau kamu bisa sebrutal itu saat menendang. Tapi tak apalah, Eyang kagum. Gak sia-sia Bima beristrikan kamu," puji Eyang sambil mencocol rujak ke sambalnya.

"Menendang? Maksudnya apa ya, Eyang?" tanya Bi Tun penasaran,

"Itu, Tutun, Rara jago berkelahi, loh! Tadi pas di pasar, Eyang sama Rara ketemu preman. Dan jadilah Rara berkelahi dengan preman-preman itu, pokoke kuereeeen."

Astaga, Eyang. Kenapa jadi berlebihan begini? Eh, tunggu dulu, Eyang puji aku? Itu artinya, Eyang Si Biang Lala sudah tidak galak lagi, dong? Waaah, bagus ini. Setidaknya, aku tidak perlu lagi merasa sungkan padanya. Ah, ketawa jahat dulu. Wkwkwkw.

"Waaah, Non Rara bisa bela diri, toh? Bibi gak nyangka,"

"Iyalah, Tun. Ya, meskipun Si Rara nyebelin, sih. Masa tadi Eyang mau diajak mati bersama?"

Ha? Mati bersama? Maksud Eyang apa coba? Menyebalkan.

"Mati bersama bagaimana, Eyang? Masa Non Rara begitu?"

"Nah itu dia, kekurangan Si Rara. Masa boncengin Eyang, bawa motornya kayak mau balapan? Syukur-syukur jantung Eyang kagak lemah, kalau tidak, entah apa yang terjadi."

Yaelah, Eyang. Tadi puji-puji aku, sekarang malah bilang aku nyebelin. Kalau begini, tidak jadi nge-Fans pada Eyang.

"Bukan ngajak mati, Eyang! Hanya saja, Rara gak tahan jika laju motornya kayak kura-kura," aku membela diri,

"Yeleh, alasan kamu! Seperti kata pepatah. Biar pelan, asal selamat. Itu baru benar,"

Tuh, kan? Kembali lagi galaknya. Tak apalah, setidaknya aku tidak merasa sungkan lagi pada Eyang. Seperti istilah, Tak kenal maka tak sayang.

Tidak berselang lama, ponselku berdering. Setelah ku cek, ternyata Kak Rey.

"Eyang, Rara angkat telepon dulu, ya?" izinku pada Eyang,

Aku bergegas masuk ke ruang tamu dan merebahkan diri di atas sofa, lalu meletakkan ponsel ke telinga.

"Halo, Kak, ada apa? Tumben nelpon Rara?" sapaku dengan rasa penasaran yang menggebu-gebu,

"Rara, kamu cepat ke sini, ya? Ke rumah Bibi Tanuja. Ibu kambuh," ucap Kak Rey di seberang sana dengan nada panik,

"Ibu kambuh?"

"Iya, Rara. Gara-gara Ayah!"

"Gara-gara, Ayah? Kak, jangan bikin Rara panik, deh!"

"Pokoknya kamu segera ke sini, cepatan."

"Iya, Kak. Rara akan segera ke sana. Jaga Ibu ya, Kak."

"Baiklah. Kakak matikan telponnya, ya."

Ada apa dengan Ibu? Kenapa Ayah ada di sana? Aku harus segera ke rumah Bibi Tanuja, takutnya Ayah berbuat macam-macam pada Ibu.

***
"Ayah ... Rara mohon, pergilah. Jangan temui Ibu disaat-saat seperti ini. Ayah tahu sendiri, 'kan? Ibu itu belum benar-benar pulih, jangan menambah bebannya!" pintaku pada Ayah yang tengah duduk santai di ruang tamu Bibi Tanuja.

"Diam, kamu! Jangan ikut campur." bentak Ayah melirikku sinis.

"Rara bukan ikut campur, Ayah. Tapi ini menyangkut Ibu! Dan jangan lupa, semua karena Ayah!"

"Diam, diam, diam! Jangan bicara lagi, kalau kamu tidak mau mendengar kata-kata pedas dari mulut Ayah!"

"Ayah benar-benar jahat!"

BERSAMBUNG

RARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang