Part 54

554 64 4
                                    

Aku tertegun mendengar ucapan Ayah. Menyesalkah ia atas apa yang telah dilakukannya pada Ibu? Apa bedanya dengan sekarang, menurutku sudah tidak ada gunanya. Surat Cerai sudah keluar.

"Ayah ... Kenapa baru menyesal sekarang? Bukankah setiap perbuatan ada konsekuensinya?" aku sengaja mengingatkan Ayah atas penghiatannya terhadap Ibu.

"Kamu benar, semua perbuatan ada konsekuensinya. Dan sekarang, Ayah menuai hasilnya. Karma. Ya ... Ini karma buat Ayah." Ayah berucap lirih, sesekali ia mengusap bulir bening di sudut matanya. Aku tidak tahu, sejak kapan Ayah menangis.

"Ayah yang sabar, ya. Semoga ada keajaiban dari Allah. Bukankah Allah Maha Segalanya? Allah Maha membolak-balikkan hati manusia. Intinya, kita berdo'a. Selebihnya bertawakal." entah dari mana aku menemukan kata-kata itu. Intinya, aku hanya menyemangati Ayah.

"Kamu benar, Rara. Oh ya, apa kamu dan Rey setuju kalau Ayah rujuk dengan Ibu? Apa kalian memaafkan Ayah?"

Tiba-tiba, Kak Rey muncul dan langsung menjawab pertanyaan Ayah.

"Kami setuju, Ayah. Asalkan Ayah bersungguh-sungguh dan tidak mengulangi kesalahan yang sama. Meskipun Rey dan Rara kecewa pada Ayah, bukan berarti kami melupakan pengorbanan Ayah atas keluarga ini. Ayah memang melakukan penghianatan selama 6 Tahun. Tapi Ayah  berkorban dan berjuang untuk keluarga kita kurang lebih 20 Tahun. Rey dan Rara tidak melupakan hal itu, Rey yakin Ibu berpikiran sama," timpal Kak Rey dengan mata berkaca-kaca. Ku akui, ucapan Kak Rey benar. Ayah masih sama seperti dulu, kesalahannya hanya sebatas penghiatan.

"Rey ... Rara ... Maafkan Ayah. Ayah menyesal, Nak. Hiks ... Hiks," Ayah menundukkan kepalanya di bahu Kak Rey. Aku yakin, siapapun yang melihat Ayah seperti ini, pasti ikut menangis.

Aku memang pernah kecewa pada Ayah. Tapi aku tidak akan pernah melupakan limpahan kasih sayang dan tanggung jawabnya terhadapku. Aku ingat, disaat semua orang memarahiku, Ayahlah satu-satunya orang yang membelaku.

Dari hati kecil yang paling dalam, aku menyesal telah kecewa dan nyaris benci pada Ayah selama ini. Ayahku orang yang baik, hanya saja ia khilaf. Aku berharap, semoga Ibu memaafkan Ayah dan membuka hatinya.

"Sekarang Ayah minum obat, ya." Kak Rey membantu Ayah duduk, sedangkan aku menuang air putih dan menyiapkan beberapa butir obat.

"Makasih, Nak. Oh ya, bagaimana keadaan Ryu?"

Kaka Rey menoleh padaku, lanjut menghela napas dengan pelan.

"Masih sama, Yah. Kata Dokter, tindakan kemoterapi sudah tidak berefek lagi bagi Ryu. Oleh karena itu, Dokter mengambil jalur Radiasi. Namun, mereka butuh Izin dari Ayah dulu baru melakukannya. Bagaimana menurut, Ayah?"

Ya Allah ... itu artinya penyakit Ryu tambah ganas? Kasihan Ryu.

"Jika itu satu-satunya jalan terbaik, Ayah setuju. Jujur, Ayah sayang pada Ryu. Bagi Ayah, Ryu sama seperti kalian.  Meskipun ia tidak terlahir dari rahim yang sama."

"Ayah tenang saja, Rey dan Rara sudah membuka hati untuk menerima Ryu. Mulai sekarang, Ryu adik kami."

Ternyata benar, Kak Rey sudah bisa menerima Ryu. Syukurlah, setidaknya Ryu tidak sendiri.

"Kalian tahu, tidak? Kenapa Ayah menamainya Ryu?"

Aku dan Kak Rey saling memandang, lantas kami menggeleng.

"Rey tidak tahu, Ayah. Memangnya kenapa Ayah menamai adik kecil dengan panggilan Ryu?"

Ayah tersenyum kecil, matanya mulai menerawang.

"Ayah sengaja menamainya Ryu. Kalian tahu kenapa? Karena Ayah ingin Ryu punya inisial yang sama sepertimu dan Rara. Inisial R. Rey, Rara, Ryu. Sama halnya nama Ayah, Ramdan. Ayah sangat menyayangi kalian bertiga, maafkan Ayah sudah membuat kalian kecewa."

Ah ... Ayah, ucapanmu membuatku terharu. Meskipun aku bukan darah dagingnya, ia tetap menyematkan Inisia R atas namaku. Terima kasih Ayah, engkau sudah mengakui dan menganggapku sebagai anak.

***
"Sayang ... Kamu yakin, akan membujuk Ibu agar rujuk kembali dengan Ayah? Bukankah itu beresiko? Bagaimana kalau Ibu marah?" Pak Bima nampak ragu dengan rencanaku. Ya, benar. Aku bermaksud membujuk Ibu agar ia mau rujuk dengan Ayah. Bukan tanpa alasan, karena aku yakin Ibu masih menyimpan perasaan yang sama dengan Ayah.

"Seratus persen yakin, Pak. Sebab Rara tahu, Ibu masih menyimpan perasaan cinta untuk Ayah."

"Bukan soal itu, sayang. Sebenarnya, ada berita penting yang harus aku sampaikan padamu. Yah ... Meskipun ini berita buruk, sih."

"Berita penting? Berita buruk? Pak ... Jangan buat Rara takut ah!"

Entah kenapa, perasaanku mulai tidak enak saat Pak Bima mengatakan kalau ia punya berita penting yang harus ia sampaikan padaku. Terlebih lagi, katanya itu berita buruk. Semakin membuatku deg-deggan.

"Sayang ... Mbak Delta kabur dari penjara," bisik Pak Bima tepat di telingaku, seakan takut kalau ada yang mendengar.

"Apa? Mbak Del-" belum selesai aku bicara, Pak Bima sudah lebih dulu membekap mulutku.

"Sssttt ... Jangan keras-keras, sayang!" Pak Bima kembali berbisik, semakin membuatku penasaran.

"Kenapa?" tanyaku tidak mengerti.

"Aku dan tim buser sengaja berpencar di Rumah Sakit ini. Tim buser tengah melakukan penyamaran. Sebab mereka yakin Mbak Delta pasti akan ke sini untuk menjenguk Ryu. Jadi, aku mohon jangan bertingkah mencurigakan. Bisa jadi, Mbak Delta pun ikut menyamar." Ucap Pak Bima seraya membenahi rambutku yang acak-acakkan.

"Pak ... Ini gawat! Bagaimana kalau Mbak Delta sengaja kabur dari penjara hanya untuk balas dendam pada Ibu? Rara harus kasih tahu Ibu hal ini!"

"Bukan, sayang. Bukan Ibu, tapi kamu,"

"Ma-maksud Pak Bima apa?"

"Mbak Delta mengincarmu, ia ingin balas dendam padamu."

"Tapi, Ibu-"

"Kamu tenang, ya. Ibu aman, sekarang Ibu ada di rumah Bibi Tanuja. Di sana sudah ada polisi khusus yang ditugaskan untuk berjaga-jaga. Yang aku khawatirkan itu kamu, sayang. Pokoknya, kamu tidak boleh jauh-jauh dariku. Kalau kamu butuh apa-apa, bilang aku, ya?"

"Pak ... Mbak Delta benaran kabur? Ini bukan prank 'kan?"

"Ya Allah, sayang. Ini benaran, bukan prank!"

Jika Mbak Delta sengaja kabur dari penjara hanya ingin menuntaskan dendamnya terhadapku, apa boleh buat? Sepertinya, aku harus melakukan sesuatu untuk menyingkirkan wanita licik dan jahat itu untuk selama-lamanya. Tapi, bagaimana caranya? Aku sendiri tidak tahu, dimana wanita itu sekarang. Belum lagi, Pak Bima menjagaku dengan ketat.

"Pak ... Bagaimana bisa Mbak Delta dengan mudah kabur dari penjara? Penjaganya pada kemana?"

"Aku juga tidak mengerti, sayang. Selain Mbak Delta licik, aku yakin pasti ada orang dalam. Buktinya, CCTV di sana tiba-tiba tidak berfungsi. Alhasil, tidak ada rekaman atau petunjuk. Sementara, pihak kepolisian sedang menyelidiki siapa orang dalam yang menjadi kaki tangannya Mbak Delta. Yang jelas, ia orang kepolisian."

"Astaga ... Kenapa sampai kecolongan begini sih, Pak? Oh ya, adiknya Mbak Delta bagaimana?"

"Bryan tidak kemana-mana, masih di penjara. Sayang ... Aku mohon padamu, jangan jauh-jauh dariku. Aku khawatir, Mbak Delta tiba-tiba datang dan langsung menyerangmu bersama dedek bayi. Aku tidak mau terjadi apa-apa dengan kalian berdua. Untuk kali ini, aku mohon ...,"

BERSAMBUNG




RARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang