Part 25

750 61 2
                                    

***
Gara-gara memikirkan masalah ini, aku terjaga di malam hari. Efeknya, kepalaku mendadak pening, rasa mual menggerogoti. Tapi sebisa mungkin ku tahan.

"Ra, kamu kenapa?" Pak Bima yang sudah berangsur pulih, memilih memijit tengukku.

"Kepala Rara pusing, Pak." Aku kepikiran Ryu dan Ayah, entah kenapa, aku ingin sekali mencekik leher Ayah.

"Itu karena kamu kurang tidur. Sudah, kamu istirahat dulu, untuk sementara kita abaikan dulu masalah ini. Kesehatanmu lebih penting." nasehat Pak Bima padaku.

Aku menganguk pelan, merebahkan diri di samping Pak Bima.  Ah, bagaimana caraku membongkar kedok Ayah? Bukti sudah di depan mata, selangkah lagi pelaku penikaman Ibu segera terkuak. Tapi, bagaimana dengan Ryu? Balita itu juga butuh Ibunya, apa yang harus aku lakukan?

"Pak, jika terbukti Ibunya Ryu dalang dari semua ini, apa yang harus Rara lakukan? Bagaimana dengan Ryu?"

"Jika itu benar, Ibunya Ryu tetap harus diproses secara hukum. Aku yakin, ada dorongan lain yang memaksa Ibunya Ryu melakukan itu. Seperti yang kamu bilang, Ia akan menyerahkan diri ke Pihak yang berwajib, jika anaknya mendapatkan keadilan. Aku rasa, keadilan yang dimaksud olehnya itu, tidak lain adalah pengakuan atas anaknya. Ia ingin anaknya punya posisi yang sama denganmu dan Rey, dan punya tempat dalam silsilah keluarga kalian."

"Jika itu kebenarannya, apa yang harus Rara lakukan, Pak?"

"Kamu dan Rey cukup menerima Ryu sebagai adik kalian, aku yakin, Ibunya Ryu akan mengantarkan dirinya sendiri ke Polisi."

"Bagaimana jika Ibunya Ryu tidak mengakui perbuatannya? Siapa tahu saja, ucapannya waktu itu hanya pura-pura."

"Ya, kita cari tahu kebenarannya, dan kita buat ia mengaku."

"Lantas, bagaimana dengan Ibu? Rara tidak bisa membayangkan, apa yang akan terjadi setelah Ibu sadar nanti. Belum lagi, reaksi Bibi Tanuja."

"Nah, itu dia, Ra. Tapi kita harus selidiki dulu semuanya, kita cari tahu, apa benar Ryu anak Ayahmu?"

"Itu sudah tidak perlu dilakukan lagi, Pak. Semua sudah jelas, Ryu anak Ayah. Dari nama dan wajahnya saja, Rara tahu, Ryu anak Ayah."

"Lantas, apa yang akan kamu lakukan?"

"Entahlah, jujur, Rara benci kebohongan Ayah! Andai saja ia bukan Ayah Rara, Rara memilih untuk membunuhnya saja."

"Astaga, jangan berkata seperti itu, Ra. Pikirkan cara yang lebih ideal, minimal, buat Ayahmu menyesal dan mengakui perbuatannya di depan Ibu dan keluarganya."

"Pak, kebohongan Ayah sudah melukai hatiku! Bahkan Rara tidak menjamin, kalau Ibu dan Kak Rey akan memaafkannya. Ayah telah menciptakan sendiri jurang pemisah antara kami, ia sudah berkhianat pada Ibu. Jujur, Rara tidak tahan jika tangan ini hanya mengepal tanpa terhempas!"

"Rara, kamu jangan berbuat hal yang tidak-tidak, ya? Jaga emosimu, biar bagaimanapun ia Ayahmu."

"Iya, benar. Ayah yang tega, dan bengis! Melukai tanpa menyentuh, rasanya lebih sakit."

"Ra, sudah, kamu hanya lelah. Tidurlah."

Aku harus menemui wanita itu bagaimana pun caranya, aku butuh jawaban. Ada hubungan apa ia dengan Ayah, sekedar pacaran, atau sampai menikah?

***
Kutatap jam dinding yang menempel di atas ventilasi jendela tempat Pak Bima dirawat, sudah jam 2 malam.

Kulirik Pak Bima, suamiku itu nampak terlelap dalam tidurnya. Dengan sangat hati-hati, aku turun dari ranjang sempit tersebut. Ya, aku harus menemui Ryu, mencari bukti akurat tentang Ibunya.

RARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang