Part 44

654 60 5
                                    

***
Hari ini aku sengaja datang terlambat ke Kantor, karena aku harus bujuk Rara dulu. Pagi tadi, Rara kumat dan tidak mau ditinggal. Ia ngotot ingin ikut denganku ke Kantor. Setelah melalui drama panjang, akhirnya ia mau ditinggal juga. Tapi dengan banyak syarat. Tidak mengapa.

"Eh, ini Bima 'kan?" seorang wanita tiba-tiba menghampiriku, ia menatap penuh selidik sekaligus tidak percaya.

"Emma?" tidak salah lagi, wanita yang tengah menatapku itu Emma. Teman SMP-ku dulu.

"Bima? Iya, aku Emma. Kamu masih kenal aku, 'kan?" Emma menyodorkan tangannya ke arahku.

"Tentu, dong. Kamu apa kabar?" tanyaku balik sambil menyalami tangannya.

"Alhamdulillah, seperti yang kamu lihat saat ini. Oh ya, kamu bertugas di sini?"

"Iya, Emm."

"Aku gak nyangka, kalau kamu bakal sehebat ini. Bima Assegaf, sekarang seorang Polisi. Kamu tambah keren, deh. Aku jadi nyesal, kenapa kita baru dipertemukan sekarang? Tapi aku bersyukur, hari ini Doaku diijabah. Aku ketemu kamu, dengan cara yang tidak terduga."

Entah kenapa, aku merasa risih dengan kalimat-kalimat yang dilontarkan Emma. Menurutku, ia terlalu berlebihan. Entahlah, mungkin aku saja yang terlalu baper.

"Kamu bisa aja, Emm. Oh ya, kamu ngapain ke sini?"

Tiba-tiba wajah Emma berubah murung. Apa aku salah bicara?

"Bim, boleh aku curhat padamu? Jujur, selama ini aku tidak punya teman bercerita. Tidak lama, kok. Hanya sebentar. Aku ingin curhat tentang aku yang tiba-tiba datang ke sini. Kamu mau, 'kan?"

Aduh, bagaimana ini? Rasanya tidak enak jika aku menolak. Terlebih lagi, Emma itu teman lamaku.

"Baiklah. Tapi aku absen dulu, ya? Kamu tunggu aku di kedai itu, aku tidak lama."

"Oke. Makasih, Bim. Sudah mau meluangkan waktu untukku. Aku duluan ke kedai itu, ya."

Sepeninggal Emma, Evan datang dan langsung melayangkan tatapan curiga padaku.

"Bim, dia siapa? Jangan-jangan, lo duain Rara? Brengsek lo, ya!" tudingnya padaku.

"Apa sih, Van? Ngaco deh. Mana mungkin gue duain Rara? Gak bakal! Apalagi saat ini Rara tengah mengandung anak gue, bodoh kali ya."

"Siapa tahu aja, 'kan? Terus, wanita tadi siapa?"

"Dia Emma, teman SMP gue. Oh ya, gue mau tanya,"

"Tanya apa, lo?"

"Emma ke sini ngaduin kasus apa, ya?"

"Gak tahu, bro. Lo tanya aja sama si Imran. Ia 'kan yang catat semua laporan."

***
"Jadi, suami kamu KDRT?" aku tidak habis pikir, rumah tangga Emma setragis itu. Dan aku baru tahu, ia ke sini untuk melaporkan suaminya.

"Benar, Bim. Aku gak habis pikir, Mas Prass ringan tangan. Awalnya, rumah tangga kami baik-baik saja. Tapi semua berubah saat Mas Prass mengenal wanita itu. Hari-hariku seperti di neraka, Mas Prass semakin menjadi saat tahu aku melabrak selingkuhannya. Itulah alasannya aku di sini, aku hendak melaporkan Mas Prass dan selingkuhannya."

Emma mengusap bulir bening yang merembes di sela-sela matanya. Tiba-tiba ia meraih dan menggenggam tanganku, namun lekas ku tepis.

"Bim, menurutmu ... Apa tindakanku ini salah? Atau sudah benar?"

Astaga, kenapa Emma menanyakan pertanyaan seperti itu padaku? Jelas aku tidak tahu jawabannya.

"Entahlah, Emm. Menurutku sih, jawabannya ada dikamu. Jika menurutmu itu benar, maka itu benar. Begitu pun sebaliknya. Intinya, kamu ikuti kata hatimu. Jangan mengandalkan opini orang lain,"

RARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang