"Rara, kamu tahu sendiri, kan? Ini barang yang sangat berbahaya. Bukankah kamu sudah mempelajarinya di bangku sekolah? Terus, kenapa masih coba memakainya? Kamu gila?"
Ucapan Pak Bima sama sekali tidak menggoyahkan hatiku. Toh, aku juga belum memakainya. Malah aku dimarah-marahin. Bikin kesal aja.
"Rara kan sudah bilang, belum sempat memakainya. Terus salahnya di mana coba?"
"Astaga. Susah ngomong sama bocah labil seperti kamu ini! Bodoh."
Sesaat kemudian, dua orang polisi datang menghampiriku dan Pak Bima.
"Bima, ada apa? Apa dia salah satu target razia?" tanya seorang polisi berbadan gempal sambil menunjuk ke arahku.
"Bukan, dia temanku."
Syukurlah, Pak Bima tidak sampai hati melaporkanku. Otomatis, aku aman. Baik juga ya, Pak Bima.
"Oh, temanmu? Masih bocah."
Pak Bima dan kedua temannya tertawa kecil, berhasil membuatku tersinggung. Enak saja mereka mentertawakanku, mentang-mentang orang dewasa seenaknya sama bocah!
"Yaudah, ayo kita lanjutkan patroli malam ini. Target kita adalah gang-gang kecil, dan tempat karaoke."
"Em, kalian silahkan lanjutkan kegiatan patroli. Aku izin sebentar untuk mengantar temanku dulu, nanti aku menyusul."
"Yaudah, kita duluan, ya?"
Pak Bima menganguk pelan. sesaat kemudian kedua temannya masuk ke dalam mobil patroli, dan bergegas pergi.
Pak Bima beralih menatapku, membuat nyaliku ciut.
"Mana kunci motormu, aku akan antar kamu pulang."
Waduh, gawat. Pak Bima akan mengantarku pulang? Tidak, aku tidak mau pulang.
"Gak, Rara gak mau pulang!"
"Eh, bocah, jangan bikin tambah pusing! Masih untung aku tidak membawamu ke kantor polisi."
"Pak, Rara mohon, jangan antar Rara pulang."
"Kenapa? Atau jangan-jangan Ayah dan Ibumu tidak tahu kalau kamu keluyuran?"
Lekas kuraih tangan Pak Bima, menggenggamnya erat sambil memohon agar ia mengerti.
"Pak, pleaseeee. Rara mohon, tolong Rara."
"Kasih aku alasan kenapa kamu tidak ingin diantar pulang!" tegas Pak Bima langsung menghempaskan tanganku.
Aku bingung harus menyampaikan apa, ujung-ujungnya aku lagi yang disalahkan.
"Kenapa diam? Ayo jawab."
Dengan ragu kutatap wajah dingin Pak Bima. astaga, mata itu! Kenapa aku tidak asing dengan mata itu?
"Hei, bocah! Kenapa diam?"
Aku tersentak kaget. Tidak, aku hanya berhalusinasi.
"Em, anu Pak Bima, sebenarnya..,"
"Sebenarnya apa?"
"Rara kabur dari rumah."
"Apa? Kabur?"
Pak Bima menatapku tidak percaya, sesekali mengusap wajahnya dengan kasar.
"Astaga, apa yang ada di pikiranmu hingga kamu melakukan itu? Apa kamu tidak memikirkan kecemasan Ayah dan Ibumu saat tahu kamu tidak pulang? Jangan bodoh."
"Rara bukan anak bodoh! Jadi, berhenti mengatai Rara bodoh, Pak Bima!"
Sampai di sini, kesabaranku habis. Aku benar-benar emosi terus dikatai bodoh oleh Pak Bima. Padahal ia tidak tahu apa-apa tentang hidupku, tentang sakit hatiku pada Ayah dan Ibu.
"Kalau bukan bodoh, terus apa? Pintar? Mana ada orang pintar kabur dari rumah dan membuat cemas orang tuanya."
"Sudahlah, percuma Rara bicara pada Pak Bima. Toh, Pak Bima tidak akan pernah mengerti."
"Apa yang harus aku mengerti? Orang kamu salah."
"Terserah Pak Bima."
Aku tidak menyangka, semua orang menganggapku bodoh dan salah. Ya, aku selalu salah dan mereka selalu benar.
"Sudahlah, Rara. Kamu tidak usah banyak alasan. Aku tetap akan antar kamu pulang!"
Ya Allah, kenapa Pak Bima tidak mau mengerti dan tidak mau tahu masalah seorang bocah?
Jika aku pulang, otomatis aku akan jadi bulan-bulanan Ibu. Yasudah, mungkin ini takdir. Sekalipun aku mati, aku tetap salah dan bodoh di mata mereka. Kasihan sekali aku.
***
PLAK! PLAK! PLAK!Ibu menamparku habis-habisan, di depan Pak Bima. Bagaimana perasaanku? Jawabannya, aku sakit hati sekaligus malu.
"Rara, kamu tahu tidak? Ibu dan Ayah dari tadi nyariin kamu, sampai-sampai kami pusing dan tidak sempat masuk kerja! Apa yang kamu inginkan, ha? Mau jadi anak sok jagoan, berandalan? Begitu?"
Aku memilih diam dan menunduk, tidak berani menatap semua orang. Aku malu, sangat malu. Di depan Pak Bima, Ibu tega menamparku. Padahal ia tahu sendiri, Pak Bima calon suamiku. Lantas, dimana rasa segan Ibu terhadap Pak Bima?
Tiba-tiba, Pak Bima mengapit pundakku dengan tangan kekarnya, sesuatu yang tidak pernah ku bayangkan dari seorang Pak Bima.
"Sebelumnya, Bima minta maaf Om, Tante. Bukannya menggurui, tapi Bima rasa cara tante mendidik Rara terlalu barbar. Sekali lagi maaf, Bima hanya tidak ingin om dan tante terkena pasal 80 ayat 2 UU No 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak, dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara. Jadi, tolong, didik Rara pakai cara semestinya."
Ibu dan Ayah mendadak diam, ucapan Pak Bima barusan sukses membungkam mereka. Rasain, untung ada Pak Bima.
"Bukannya Tante barbar, Bima. Tapi kamu bisa lihat sendiri, kan? Bagaimana kelakuan Rara. Dia sangat sulit di atur, entah apa maunya."
"Bima mengerti Tante, tapi masih banyak cara untuk mendidik gadis bodoh seperti Rara."
Sial, Pak Bima benar-benar membuat darahku mendidih. Padahal aku baru saja ingin memujinya, tapi gara-gara ia mengataiku bodoh, semuanya batal.
"Terima kasih, Bima, Sudah ingatkan Tante. Dan terima kasih juga sudah mengantar Rara pulang."
Halah, palingan cuma di depan Pak Bima doang, setelah ini pasti ia akan menghajarku habis-habisan. Dasar ibu.
"Sama-sama, Om, Tante. Kalau begitu Bima permisi dulu. Oh ya, Rara, motormu aku pinjam. Besok kukembalikan."
Aku menganguk pelan, anggap saja itu adalah caraku berterima kasih. Aku malah bersyukur, Pak Bima tidak sempat memberitahu Ibu tentang Heroin. Kalau tidak, aku bakal mati di tangannya.
Sesaat kemudian, setelah Pak Bima pergi, Ibu langsung menjambak rambutku sambil menarikku dengan paksa ke kamar belakang.
"Dasar anak setan! Kamu benar-benar sudah membuat Ibu malu, Rara! Sekarang kamu ikut Ibu, Ibu akan kurung kamu di kamar belakang!"
Ibu menarik rambutku dengan keras, membuatku meringis kesakitan.
"Ma, sudah Ma! Jangan lakukan itu pada Rara, apa kamu tidak dengar ucapan Bima tadi?" teriak Ayah berusaha menenangkan Ibu.
"Gak, Pa! Rara emang harus di hukum biar jera, dia sudah keterlaluan. Gara-gara dia, Mama jadi kena semprot Bima!"
Benar kan, dugaanku? Ibu tetaplah Ibu, dan tidak akan pernah puas sebelum menghajarku.
Ibu mendorongku ke dalam kamar tersebut, kamar yang lebih mirip dengan gudang penyimpanan barang-barang bekas.
Sekarang aku di sini, terkurung di dalam kamar pengap tanpa ventilasi maupun jendela. Cukup tersenyum, dan berharap semoga Ibu berubah pikiran dan mengeluarkanku dari ruangan ini. Ruangan yang membuat pernapasanku terganggu.
BERSAMBUNG
KAMU SEDANG MEMBACA
RARA
RomanceSINOPSIS: Sering menerima perlakuan tidak adil dari ibunya, membuat Rara tumbuh menjadi gadis tidak biasa. gadis cantik blasteran itu menjadi kebal rasa. Karena bandel, Rara sering mendapat teguran dari pihak sekolah perihal nilainya yang buruk dan...