Part 41

660 58 7
                                    

***
Aku singgah sebentar di Pasar, membeli buah yang diinginkan si bocah pembuat onar. Sebenarnya hati ini kesal, kenapa harus durian, sih?

"Pak, kedondongnya sekilo, ya." aku menunjuk kedondong yang tengah dikupas oleh si pedagang,

"Baik, Mas. Mau yang kupas, atau yang masih utuh?" tanyanya sambil menunjuk ke wadah berisi kedondong yang sudah dikupas dan kedondong yang masih utuh dengan kulitnya.

"Yang kupas aja, deh." yaiyalah aku mau yang kupas. Bukan apa-apa, ujung-ujungnya Rara bakal suruh aku mengupasnya. Daripada ribet, lebih baik aku belikan ia yang sudah jadi, 'kan?

"Baik, Mas. Tunggu sebentar, ya."

Sambil menunggu, ku sempatkan mengenakan masker yang sudah ku siapkan dari kantor. Aku sengaja memilih masker dengan bahan tebal, supaya nanti hidung ini tidak dapat mengendus aroma durian. Cakeeep!

"Mas, ini kedondongnya. sekilo Rp.15.000 ya, Mas," ucap si pedagang sambil menyodorkan kantong plastik berisi kedondong padaku.

"Oh, baiklah. Terima kasih,"

Setelah membayar, ku bergegas minggat dan mencari pedagang lain yang menjual buah durian. Huft, bakal perjuangan panjang, nih.

Setelah lama berkeliling, akhirnya ku temukan juga buah keramat itu. Di depan sana, tampak buah durian berjejer rapi. Aromanya? Jangan tanya lagi. Rupanya masker tebal yang ku kenakan tidak berpengaruh sama sekali, aromanya benar-benar menusuk. Dalam hitungan detik, kepalaku langsung pening.

Kalau saja Rara tidak ngidam durian, seumur hidup aku tidak akan datang dan mencari buah itu. Apalah daya, aku lebih sayang istriku ketimbang hidungku. Arggh, aku mual!

"Pak, duriannya satu."

"Mau yang mana, Mas? Durian Banyuwangi, Durian Montong, Durian Pelangi, atau Durian Tembaga?" tanya si pedagang seraya mengenalkan jenis-jenis durian padaku.

"Hah, bungkus semuanya!" lebih baik membeli keempat jenis durian tersebut, agar Rara bebas memilih jenis mana yang ingin dicicipinya.

"Rp.273.000, Pak."

"Baiklah. Oh ya, Pak? Kira-kira ada karung bekas, gak?"

"Karung bekas? Ada. Buat apa, Mas?"

"Kalau ada, saya beli lima, ya. Tolong bungkus durian-durian itu dengan karung bekas,"

"Ha? Baiklah. Tidak usah dibayar, Pak. Karungnya 'kan sudah bekas, ambil saja."

"Terima kasih ya, Pak."

Selesai semua urusan, aku menyewa kuli panggul untuk mengangkut durian-durian itu ke mobilku. Tidak, lebih tepatnya ke bagasi mobilku. Huft, Rara, Rara ... Kamu membuatku kerepotan!

***
Sesampainya di rumah, ku suruh Bi Tun mengurus buah pesanan Rara. Aku sama sekali tidak mau andil kali ini, kepalaku masih pening gara-gara aroma buah satu itu.

"Eyang? Rara mana?" tanyaku pada Eyang yang tengah mengiris kol. Bergegas ku ambil air minum dan meneguknya cepat. Setidaknya rasa mual ini berkurang.

"Rara di kamar, Bima. Dari pagi mual-mual terus, gak mau makan apa-apa. Eyang jadi bingung mau buat apa, Rara ngidamnya lebih jahat dari perkiraan Eyang," jelas Eyang sambil menghela napas, pertanda ia menyerah.

"Jadi, Rara belum makan apa-apa, Eyang?"

"Iya, Bima."

"Dari pagi?"

Eyang menganguk pelan. Bergegas ku ayunkan langkah menuju kamar, aku harus mengecek kondisi istriku.

Sesampainya di kamar, tidak ku jumpai sosok Rara. Yang nampak hanya bantal dan guling berserakan di atas lantai. Astaga, apa Rara berulah lagi?

RARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang