***
Di dalam kamar, aku menangis sejadi-jadinya. Tidak ku hiraukan ketukan dan panggilan Kak Rey di balik pintu kamarku.Aku terlanjur sakit hati, kecewa, dan marah pada keadaan. Ingin sekali lari dan pergi dari rumah ini, tapi harus kemana?
Tapi, berlama-lama di dalam rumah membuatku semakin frustasi, aku hampir mau gila. Sehari rasanya sama dengan setahun.
Lalu, kemana aku menenangkan diri? Apa ada jalan pintas selain bunuh diri? Jika saja bunuh diri bukan dosa dan tidak dilarang, aku sudah lakukan. Aku takut, takut kepada Allah. Lantas, aku harus bagaimana?
"Rara, maafin Kakak. Ayo, kita lanjutkan sarapannya, ya? Dari semalam kamu belum makan apa-apa, loh. Ntar kamu sakit, Ra."
Benar kata Kak Rey, aku belum makan apa-apa. Seteguk air pun belum sempat masuk sekedar membasahi tenggorokan.
Aku bergegas mengganti pakaian, memakai sepatu dan topi yang baru kubeli kemarin.
Sesaat kemudian aku beranjak ke meja belajar, membuka laci dan mengambil kunci motorku di sana. Ku rasa, aku harus pergi dari rumah ini. Aku muak, muak dengan suasana rumah yang tidak pernah menganggap aku ada. Keputusanku sudah bulat.
Tidak lupa, aku memasukkan ponsel dan beberapa lembar uang seratus ribuan ke dalam saku celana jeans selutut yang ku kenakan. Itu uang terakhir dari Ayah.
Dengan perasaan berkecamuk kubuka pintu kamar, mendapati Kak Rey dengan wajah bingungnya.
"Rara, kamu mau kemana?"
Aku tidak menghiraukan pertanyaan Kak Rey, segera mengunci pintu kamar dan bergegas pergi melewati Kak Rey begitu saja.
Sesampainya di ruang tamu, Ibu mencegatku.
"Rara, kamu mau kemana? Mau keluyuran lagi? Mau cari masalah lagi? Apa belum puas, kamu sering mempermalukan Ayah dan Ibu? Iya?"
Aku menoleh sebentar, wajah awet mudah itu menatapku tidak suka.
"Bukan urusan Ibu!"
Aku melanjutkan langkah, mengabaikan ucapan Ibu yang ku rasa tidak penting.
"Rara! Raraaa!"
Tidak kuhiraukan panggilannya, aku benar-benar muak. Ku stater sepeda motorku, kemudian melaju dengan kecepatan tinggi.
***
Puas berkeliling, kuputuskan untuk singgah sebentar di taman Kota. Memanjakan mata dan sekedar menikmati tahu gejrot kesukaanku."Pak, tahu gejrotnya satu."
Pria paruh baya tersebut menyambutku dengan ramah,
"Baik, neng."
Sementara menunggu pesanan, aku merogoh ponsel dari saku celana. Menggeser layar dan mendapati 4 panggilan tak terjawab dari Kak Rey. Ku abaikan.
"Neng, tahu gejrotnya sudah jadi."
"Berapa, Pak?"
"6000 rupiah aja, neng."
Aku kembali merogoh saku celana dan mengeluarkan selembar uang seratus ribuan dari sana.
Setelah membayar, aku bergegas mencari tempat duduk ternyaman, yakni bangku panjang di bawah pohon. Pasti disana adem.
"Permisi, Boleh ikut duduk?"
Aku menoleh sebentar. Di sampingku sudah berdiri seorang pria berambut keriting memakai seragam SMA, ia tersenyum padaku sambil memegang seporsi tahu gejrot.
"Silahkan."
Aku lanjut menikmati tahu gejrot pesananku, tidak menghiraukan lingkungan sekitar dan si pria berambut keriting yang juga ikut menikmati tahu gejrot pesanannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
RARA
RomanceSINOPSIS: Sering menerima perlakuan tidak adil dari ibunya, membuat Rara tumbuh menjadi gadis tidak biasa. gadis cantik blasteran itu menjadi kebal rasa. Karena bandel, Rara sering mendapat teguran dari pihak sekolah perihal nilainya yang buruk dan...