Part 37

722 67 4
                                    

***
"Rara, temani Eyang ke pasar, ya? Eyang mau beli ikan sama sayuran," ucap Eyang sambil menyeruput wedang jahe yang disuguhkan Bi Tun.

"Ke pasar, Eyang? Kenapa kita tidak ke Supermarket saja, Eyang? Di sana kualitas dan kebersihannya terjamin, loh," timpalku keberatan. Ya, jelas aku keberatan. Yang pasti, kalau ke pasar aku bakal panas-panasan, desak-desakkan, belum lagi becek.

"Jangan banyak protes kamu! Siapa bilang di Supermarket kualitasnya terjamin? Di sana banyak, kok, bahan pangan menggunakan pengawet. Masih mending di pasar. Selain ikannya segar-segar, sayurannya juga baru petik. Dasar ya, anak-anak sekarang sukanya yang praktis!" omel Eyang padaku. Lain halnya dengan Bi Tun, ia hanya tersenyum sambil menyimak obrolanku dengan Eyang.

"Iya, Eyang. Rara ikut mau Eyang saja, kita ke pasar." tandasku mengalah. Yaiyalah aku mengalah. mana bisa menang aku berdebat dengan Eyang? Eyang mah merasa paling benar.

"Nah, begitu, dong. Tutun, kamu siapkan Tas belanja sama keranjang," suruh Eyang pada Bi Tun.

"Nggih, Eyang." Bi Tun bergegas ke dapur, sedangkan Eyang masih sibuk dengan wedang jahenya.

Aku malah heran pada Eyang, apa ia pecinta wedang jahe? Semalam ia minum wedang jahe, pagi ini juga wedang jahe. Unik sekali Eyang Pak Bima ini. Kemarin Pia, sekarang wedang jahe. Apa jangan-jangan, itu salah satu rahasia kenapa sampai saat ini Eyang masih nampak awet muda?

"Rara, ayo berangkat."

"Oke, Eyang. Oh ya, kita naik apa, Eyang? Taksi?"

"Kamu bisa bawa mobil, gak?"

"Bisa, Eyang."

"Yaudah, naik mobil kamu aja."

"Tapi, mobilnya di bawa Pak Bima Eyang."

"Owalah, terus yang ada sekarang apa?"

"Motor, Eyang."

"Yaudah, naik motor saja! Eh, tunggu dulu, tadi kamu panggil suamimu siapa?"

"Pak Bima, Eyang. Kenapa?"

"Kok, Pak Bima? Mas Bima dong. Masa suami sendiri dipanggil Pak? Dulu saja Eyang Panggil suami dengan sebutan Sayang, seringnya Eyang panggil Kang Mas. Kamu harus ubah itu, minimal panggil suamimu Mas, atau Kang Mas. Ini yoh malah Pak."

Astaga, Eyangku Si Biang Lala! Segitu jelinya pendengaran Eyang, sampai-sampai iya mempermasalahkan panggilanku pada Pak Bima. Apeeeees, Eyaaaaang!

***
PLETAK!

Tiba-tiba Eyang menjitak kepalaku, sesaat setelah aku memarkirkan sepeda motor.

"Aduh! Eyang, kok jitak, Rara?" tanyaku dengan kesal. Bagaimana tidak? Tidak ada angin, tidak ada hujan, Eyang Si Biang Lala main jitak-jitak sembarangan. Panas lah, telingaku ini. Pengen ku jitak balik.

"Pake nanya lagi. Kamu pikir Eyang ini barang?"

"Ha? Barang? Maksud Eyang, apa?"

"Itu tadi, kamu bawa motornya kayak lagi balapan! Kamu tidak dengar teriakan Eyang, apa? Jantung ini mau copot, Rara. Bulu mata Eyang juga pada mau copot. Gak mikir siapa yang diboncengin?"

Owalah, gara-gara itu, toh? Bwahahaha. Eyang, Eyang, itu belum seberapa kali. Baru 180 Km/jam juga.

"Eheheh, maaf, Eyang. Rara lupa kalau lagi boncengin Eyang, jadinya Rara main embat."

"Dasar cucu gak ada akhlak!"

"Maaf, Eyang. Yaudah, sekarang kita belanja. Rara bantuin milih ikan sama sayurannya, ya?"

"Yaudah, ayo."

Aku dan Eyang mulai masuk dan menjelajahi pasar. Pertama-tama, Eyang mengajakku ke tempat pedagang yang menjual ikan-ikan segar.

"Pak, per-ekornya berapa?" tanya Eyang sambil menunjuk wadah berisi ikan Tuna berukuran sedang,

"Sekilo Rp.25.000, Nek," jawab si pedagang dengan ramah.

"Yaudah, 2 Kg." ucap Eyang sambil membuka dompetnya, lalu mengeluarkan selembar uang lima puluh ribuan.

Sambil menunggu Eyang, ku sempatkan untuk mampir ke kedai khusus menjual tape ketan yang ada di samping pedagang ikan. Seingatku, Bi Tun sangat doyan tape ketan. Alangkah baiknya, ku belikan ia beberapa bungkus.

***
"Eyang, sekarang mau beli apa lagi?" tanyaku dengan napas ngos-ngossan. Bagaimana tidak? Semua belanjaan aku yang bawa. Eyang? Jangan tanya lagi, Si Biang Lala cuma nentengin dompetnya doang, sambil menyeruput es kacang segar.

"Em ... Apa, ya? Ah, Eyang lupa mau beli daging ayam. Pengen makan rendang buatan Tutun," jawabnya sambil mengusap peluh dan memperbaiki letak kacamata hitamnya. Ya, setelah kami membeli sayuran, Eyang sempat mampir dan membeli sebuah kaca mata hitam kekinian. Ku akui, Eyangnya Pak Bima gaul juga.

"Hah, bukankah di kulkas masih ada ayam, Eyang?" jujur aku mulai letih. Kakiku pegal. Belum lagi dengan bawaan seberat ini, apes.

"Tapi Eyang maunya daging ayam segar. Harus ayam kampung pula!"

"Terserah, deh!"

Lama aku dan Eyang berkeliling, sama sekali belum menemukan penjual daging ayam kampung. Kebanyakan mereka merekomendasikan untuk membeli ayamnya saja, lalu menyembelihnya. Tapi dasar Si Biang Lala, ngoyo banget pengen daging ayam kampung yang sudah jadi.

Sesaat kemudian, Eyang tidak sengaja menabrak seorang pemuda. membuat pemuda itu jatuh menimpa genangan air di pinggir jalan. Astaga, masalah baru lagi!

"Aduh, Nak. Maafin Eyang, ya? Eyang gak sengaja," pinta Eyang bergegas menolong pemuda tersebut.

"Lepasin gue, Nenek Tua!" bentaknya kasar dan menepis tangan Eyang, lalu mendorongnya.

Brengsek! Pemuda ini tidak ada sopan santunnya pada Eyang, mana perilakuannya kasar banget lagi.

"Mas, yang sopan, dong! Eyang Rara gak sengaja, bukankah ia sudah minta maaf?" aku mulai greget dengan pemuda ini, bisa-bisanya ia memperlakukan Eyang seperti itu. Meskipun Eyang ngeselin, tetap saja aku tidak terima jika ia diperlakukan seperti itu.

"Diam kamu, bocah! Oh, Nenek Tua ini Eyangmu? Baiklah, aku akan maafin dia. Tapi dengan satu syarat, kamu harus mau kencan denganku. Bagaimana?" pemuda tersebut mengulas senyum licik seraya mengangkat sebelah alisnya, berkesan menghinaku.

"Jangan kurang ajar kamu sama Rara, ia istri cucuku!" bentak Eyang dengan geram, tidak terima dengan ucapan pemuda itu.

"Eyang, sudah. Biar Rara yang urus," bisikku pada Eyang.

"Tapi, Rara ...," kalimat Eyang terpotong, ia terkejut saat mendapati orang-orang tengah mengerumuni kami. Tidak ada yang berani menegur pemuda tersebut, mereka hanya jadi penonton saja. Dasar!

Kutatap pemuda tadi, Ia terlihat geram. menatapku dan Eyang secara bergantian. Aku harus waspada, gelagatnya mencurigakan.

Pemuda itu mulai maju selangkah demi selangkah ke arahku. Tidak berselang lama tangan kekarnya menarikku dengan paksa, diiringi pekikan histeris Eyang. Ia tengah memohon pada mereka yang tengah menonton, agar mencegah aksi pemuda tersebut. Namun, sekali lagi mereka hanya bergeming.

Tanpa pemuda itu sadari, aku tengah menyiapkan suatu kejutan untuknya. Aku baru ingat, pemuda ini merupakan salah satu preman pasar yang sering beroperasi di sini. Setahuku, tidak ada yang berani melawannya. Kalaupun ada, mereka harus siap jika dagangannya diobrak-abrik.

"Lepasin!" ku hempaskan tangan kekarnya dari lenganku,

BUGH!

Kena. Aku baru saja melayangkan tinjuku kewajah pemuda itu, memaksa cairan merah kental memancar dari lubang hidungnya. Ku pastikan, tulang hidungnya patah.

Pemuda tersebut langsung berjongkok dan memegangi hidungnya, sesaat kemudian ia menjerit dan melayangkan berbagai macam makian padaku. Aku mah, bodoh amat.

BERSAMBUNG

RARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang