Part 20

913 75 5
                                    

***
Belum sampai setengah jam aku menghubungi Pak Bima, deru mobilnya terdengar memasuki pekarangan rumah. Bergegas ku buka pintu kamar dan berlari-lari kecil menapaki tangga, aku sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengannya.

"Pak Bima!" aku bergegas menyambutnya, meraih punggung tangannya dan menciumnya takjim.

"Ini sudah larut malam, kamu masih menungguku?" Pak Bima tersenyum kecil, seraya mengelus kepalaku.

"Iya, itu karena Rara tidak bisa tidur, kepikiran terus sama rekaman itu." aku mengapit lengan Pak Bima dan langsung mengajaknya ke kamar. Sudah beberapa hari ini, aku tidak lagi merasa sungkan padanya. Entahlah, kami berdua sudah tidak memperdulikan isi kesepakatan sebelum pernikahan.

Sesampainya di kamar, bergegas ku ambil laptop dan meletakkannya di atas ranjang.

"Rara, tadi kamu ke rumah Ibu?" tanya Pak Bima penuh selidik.

"Iya, Pak. Maafin Rara, ya? Gak izin dulu sebelum pergi kesana, bukan apa-apa, Rara hanya kepikiran CCTV di depan gerbang." aku mengulas senyum termanis, berharap Pak Bima tidak sampai marah.

"Baiklah, jangan diulang lagi. Lain kali kamu harus izin dulu padaku, jangan asal pergi-pergi saja. Ntar kalau kamu kenapa-kenapa, bagaimana? Takutnya, pelaku juga ikut mengincar kamu." Pak Bima terlihat serius, ada nada kekhawatiran diucapannya.

"Iya, Pak. Oh ya, ini rekamannya. Rara putar sekarang, ya? Kita selidiki bersama." aku menekan tombol enter, tidak lama kemudian rekaman memperlihatkan keadaan di depan gerbang.

Pak Bima menyimak dengan serius, sesekali menyuruhku menekan tombol jeda.

Kadang, Pak Bima memintaku untuk memaju mundurkan rekaman, menjeda, dan menzoom layar.

"RB? Inisial kah?" guman Pak Bima sambil menyelidiki gambar yang sengaja ku perbesar.

"Menurut Pak Bima?" aku balik bertanya. Secara, aku sendiri bingung.

"Ra, sepertinya ada yang aneh. Dilihat dari gelagatnya, mirip seorang wanita."

"Masa sih, Pak? Kalau ia seorang wanita, bagaimana dengan kalung yang ada di mobil Ibu? Bukankah kalung tersebut milik seorang pria?"

"Iya, kamu benar. Aku malah berpikiran, kalau wanita itu punya kaki tangan."

"Lah, emang iya. Orang tadi dia bawa motor, kok. Gak mungkin lah ia buntung."

"Aisssh, bukan itu maksudnya, bodoh! Punya kaki tangan, maksudnya orang suruhan. Wanita itu pasti sudah membayar seseorang, pemilik kalung yang kami temukan."

"Oh, kirain. Maaf, deh."

Pak Bima kembali fokus ke layar laptop, mencari sesuatu yang patut di jadikan petunjuk selain gelang.

"Ra, apa Ibu punya musuh?"

"Musuh? Setahu Rara tidak, Ibu orang baik. Setiap hari ia ke Rumah Sakit, karena Ibu seorang Dokter. Kerjanya menangani pasien, terkadang Ibu tidak pulang ke rumah saking sibuknya. Lantas, bagaimana bisa Ibu punya musuh? Ibu seorang Dokter, Rara rasa ia tidak mau membuang-buang waktu dalam hal yang tidak penting, apalagi mencari musuh."

"Ini benar-benar rumit."

Pak Bima memijit kepalanya pelan, aku tahu, ini tugas yang sangat berat. Sebagai seorang Polisi, mau tidak mau ia harus ikut andil dalam kasus ini. Terlebih lagi, korbannya tidak lain adalah Ibu Mertuanya sendiri.

"Mau Rara pijitin?" tawarku padanya, kasihan juga, suamiku itu nampak sangat kelelahan.

"Kamu ikhlas?" kali ini Pak Bima menatapku lain, ia tersenyum sambil menyeringai.

RARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang