Part 11

797 68 6
                                    

***
Astaga, aku pikir menyetrika baju adalah pekerjaan yang sangat mudah, nyatanya tidak sesederhana itu. Mau minta tolong Bibi Tun, aku tidak enak. Soalnya Bibi Tun juga banyak pekerjaan.

Gara-gara menyetrika baju Pak Bima, jari telunjuk dan jari tengahku melepuh terkena gesekan setrika panas. Tidak hanya itu, beberapa kaus oblong dan celana dalam Pak Bima juga ikut bolong karenanya.

Seketika dadaku berdesir saat deru mobil terdengar memasuki pekarangan rumah, pasti Pak Bima. Bagaimana ini?

Oke, tidak ada cara lain. Aku tidak mau jika harus berdebat dengan si Macan, lebih baik cari aman.

"Heh, bocah, ngapain kamu cengar-cengir di depan tempat sampah? Kesambet?" Pak Bima masuk seraya melemparkan jaketnya ke arahku, setelah itu langsung merebahkan dirinya di atas ranjang.

Aissh, enak banget hidupnya? Berlagak seperti sultan, Bersenang-senang di atas penderitaanku.

"Kok malah bengong? Itu matanya, kenapa lirik-lirik begitu? Gak pernah lihat orang tampan?"

Apa katanya? Tampan? Cuih, ngarep. Ya, emang sih, tampan. Tapi ngeselin.

"Bocah, itu tangannya kenapa? Kok merah?"

Tanpa ku duga, Pak Bima beranjak dari rebahannya dan bergegas ke arahku. Sukses membuatku dag dig dug, bagaimana kalau aku ketahuan?

Diraihnya tangan kiriku, mulai meneliti dan memperhatikan.

"Kok melepuh? Kamu tidak sedang main bola api, kan?"

Sial, ia pikir aku anak kecil? Kalaupun aku main bola api, sudah pasti bola api tersebut aku lempar ke wajahnya yang sok keren itu.

"Kok diam?"

Aku bergegas menarik tanganku, mendorong Pak Bima agar menjauh dari hadapanku.

"Pake nanya lagi, ini gara-gara Pak Bima! Sudah tahu Rara gak bisa setrika baju, masih aja di paksa. Kalau sudah begini, Pak Bima mau tanggung jawab?"

Tanpa ku duga, si Macan malah tertawa terbahak-bahak. Membuatku semakin kesal dan ingin sekali mencabik-cabik wajahnya.

"Ahahahaha, emang enak? Anggap saja itu karma, karena kamu sudah menggigit tanganku."

Aissh, ini benar-benar mimpi buruk. Sebagai suami, harusnya Pak Bima perhatian padaku. Ini? Berbalik.

"Terus, kenapa tidak di obati? Apa harus aku yang obati?"

"Ogah! Meskipun tangan Rara sudah terpisah dari badan, gak bakal sudi Rara di obati Pak Bima!"

"Yakin? Awas saja ntar malam nangis-nangis, aku gak bakal tanggung jawab. Di obati malah gak mau."

"Hahaha, nangis? Hello, Pak Bro, Rara itu bukan anak kecil lagi."

"Terserah. emang ya, berdebat sama bocah itu gak bakal kelar. Sini tangannya."

Tanpa izin, Pak Bima menarik tanganku. hampir saja aku terpeleset.

"Rara mau di apain?" tanyaku berusaha melepas cengkramannya.

Pak Bima mendelik kesal, memaksaku duduk di atas ranjangnya.

"Kamu diam di situ, dan jangan bergerak!"

Hiii, ngeri. Loh, kok aku malah tunduk padanya?

"Sini tangannya. Dasar bocah bodoh, setrika baju saja gak bisa." omelnya sambil mengompres jariku dengan es batu.

"Itu Pak Bima tahu, masih aja nyuruh Rara."

"Ya, belajar, dong!"

"Iya, nanti. Oh ya, tangan Rara kan lagi sakit, berarti Rara belum bisa ngapa-ngapain. Belum bisa setrika, nyuci, masak, pokoknya semuanya."

RARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang