***
"Ayang, buburnya jadi enak pas kamu yang suapin." Pak Bima mulai lagi dengan kalimat-kalimat lebaynya."Sekali lagi Pak Bima ngomong lebay seperti itu, jangan salahkan Rara muntah di sini. Dan satu lagi, Namaku Rara, bukan Ayang!" Aku mendengus kesal, sepertinya otak Pak Bima sudah mulai korslet, harus ditimpuk dulu agar letak otaknya jadi benar.
"Ahahahaha, kok gitu? Dimana-mana, wanita itu paling senang dengan ucapan-ucapan manis. Apalagi digombalin sama suami sendiri. lah, kamu? Eits, tunggu dulu, tapi aku tidak gombal, ya. Yang tadi aku ngomong benar, loh. bukan gombal." Pak Bima menggaruk kepalanya yang tidak berketombe, sadar akan perubahan raut wajahku.
"Sama aja! Gombal tetaplah gombal, dan itu semua bulshit!" kusuapi Pak Bima dengan kasar, cukup mewakili kekesalanku padanya. Enak saja aku digombalin, Aku tidak suka! Aku trauma, terlalu banyak meme yang berseliweran di beranda Sosial Mediaku, yang mengatakan kalau pria yang suka gombal itu sama dengan pembohong. Apalah namanya, aku lupa. Ah, aku ingat, katanya Bucin. Ih, amit-amit.
"Aduh, Ayang, kasar banget, sih? Ntar gigiku copot lagi, yang benar, dong. Aku lagi sakit loh, Ay, jangan kasar-kasar."
"Aisssh, Pak Bima bikin Rara kesal, deh! Ay, Ay, Ay, apaan, sih? Nama Rara tetap Rara, gak usah diganti segala, apalagi Ayang. Iiih, gak banget!"
Melihat Pak Bima seperti ini, memancing jiwa kriminalku muncul. Awas saja kalau ia memanggilku dengan Nama Ayang lagi, habis dia!
"Hah, kamu ini benar-benar bodoh. Ayang itu nama kesayangan, Ra. Bukan nama kesayangan, tapi panggilan sayang, biar romantis."
"Sama aja! Cukup panggil Rara."
"Aissh, dasar istri gak romantis."
Segera mungkin kuletakkan mangkuk bubur yang sudah kosong di atas nakas. Bergegas kuambil bantal dan siap menimpuk Pak Bima,
"Pak Bima ini," kuangkat bantal tersebut dengan kedua tanganku, siap menimpuknya.
"Ra, ada Ayah." celetuk Pak Bima tiba-tiba.
Sontak aku terkejut dan melayangkan pandang ke arah pintu, di sana sudah ada Ayah Mertua, berdiri sambil menyipitkan kedua matanya. segera kulempar bantal tadi ke tempat semula. Gawat! Ayah Mertua menatapku dan Pak Bima secara bergantian. Apa ia melihat pertengkaran kami?
"Se..sejak kapan, Ayah di situ?" tanyaku basa-basi, sekedar meregangkan kecanggungan.
"Dari tadi." jawab Ayah singkat, seraya menyunggingkan senyum khasnya padaku dan Pak Bima.
Hah, untung saja aku belum sempat menimpuk Pak Bima dengan bantal itu. Bisa kebayang, bagaimana jika Ayah Mertua melihat perbuatanku tadi? Bisa-bisa aku dicap sebagai istri jahat. Untung saja belum sempat. Fiuuuh.
"Kalian bertengkar, ya?" Ayah Mertua terkekeh melihat kami yang sudah lebih dulu mati kutu, hah, semua gara-gara Pak Bima!
"Rara duluan, Yah." Ucap Pak Bima sembari menatapku dengan tatapan sok menderita, benar-benar suami durhaka! Bisa-bisanya ia menyalahkanku di depan Ayah Mertua, bisa turun pamor, nih.
"Bima, tidak boleh seorang suami menyalahkan istrinya seperti itu, apalagi menuduhnya yang bukan-bukan."
Yes! Ayah Mertua membelaku. Rasain, emang enak?
"Ya, bukan nuduh, Yah. Masa Rara marah hanya karena Bima panggil dia, Ayang?"
Hah, dasar suami pengadu! Bisa-bisanya Pak Bima mengadu pada Ayah? Aku malah khawatir, bagaimana jika ia membeberkan ritual loncat-loncat melata kami pada Ayah? Waduh, gawat! Kalau tidak dicegah, bisa-bisa Pak Bima keburu ngomong.
KAMU SEDANG MEMBACA
RARA
RomanceSINOPSIS: Sering menerima perlakuan tidak adil dari ibunya, membuat Rara tumbuh menjadi gadis tidak biasa. gadis cantik blasteran itu menjadi kebal rasa. Karena bandel, Rara sering mendapat teguran dari pihak sekolah perihal nilainya yang buruk dan...