Part 9

815 52 4
                                    

***
Jangan tanyakan bagaimana perasaanku saat ini, rasanya campur aduk. Bahagia, sedih, dan marah berbaur menjadi satu. Lantas, pada siapa aku melampiaskan kekesalan ini? Jawabannya tidak ada. Aku sudah pasrah kemana takdir membawaku, karena aku percaya semua sudah ketentuan-Nya.

"Bagaimana, sudah bisa kita mulai prosesi Ijab Qabulnya?"

"Silahkan, Pak."

Penghulu menjabat tangan Pak Bima, pria tampan nan perkasa itu tidak bergeming sama sekali. Entahlah, aku tidak peduli.

"Saudara Bima Assegaf Bin Bagas Assegaf, Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Rara Bastian Binti Ramdan Bastian dengan maskawin berupa Seperangkat alat sholat dan Emas 500 Gram, tunai."

"Saya terima nikah dan kawinnya Rara Bastian Binti Ramdan Bastian dengan maskawin tersebut, tunai."

"Bagaimana saksi? Sah?"

"Saaaaaah!"

Bagai petir menyambar di siang bolong, begitulah suasana hatiku. Ah, tidak pernah terbayangkan kalau aku akan jadi seorang istri di usia yang masih sangat muda, 16 tahun. Disaat teman-temanku sibuk bersekolah, aku malah sibuk melayani suamiku. Ingin menangis, percuma.

Pak Bima menatapku tanpa ekspresi, menyodorkan punggung tangannya dan langsung ku sambut dan ku cium takjim. Jujur, rasanya geli bercampur lucu. Pak Bima suamiku? Astaga, ini mimpi buruk.

Sebentar lagi aku dan Pak Bima akan tinggal dalam satu rumah. Aku tidak menjamin rumah yang akan kami tinggali nanti akan aman dan tentram, sudah pasti akan gaduh. Lihat saja, Pak Bima. Aku tidak mau disuruh-suruh!

***
Akhirnya, aku di perbolehkan pulang oleh Dokter. Sebelum pindah ke rumah Pak Bima, aku ke rumah Ibu dulu untuk berpamitan pada Ayah dan Kak Rey.

Aku akan mengemasi semua barang-barangku, isi madingku, pokoknya semua kepunyaanku. Aku tidak akan membiarkan barang-barangku masih tersisa di rumah itu, tidak akan!

"Ini kamarmu?" Pak Bima nampak berusaha menahan tawanya agar tidak pecah, sesekali membaca kertas-kertas yang menempel di mading pribadiku.

"Kenapa?" aku menatapnya dengan kesal, Seakan-akan isi kertas itu lucu dan pantas di tertawakan.

"Gak. Lucu aja, ternyata isi kamar cewek itu dominannya kertas, ya? kayak perpustakaan, aja. Hahahaha."

Sialan, Pak Bima. Apa maksudnya coba berkata seperti itu?

"Maksud Pak Bima, apa?"

"Gak. Lucu aja. Btw, puisinya bagus. Kamu pintar juga, ya, nulis puisi."

Hahah, belum tahu aja Pak Bima, kalau puisi-puisi itu tercipta dari curahan hatiku.

"Oh, ya, ini ranjang spongebobnya di bawah juga?"

"Gak. Buat apa? Kan rumah Pak Bima ada ranjang."

"Oh."

Aku kembali melanjutkan aktivitasku, mencabut semua isi madingku dan meletakannya di dalam kardus. Tidak lupa, buku harian sama kaset-kaset PS2 milikku. Aku akan angkut semuanya ke rumah Pak Bima.

"Rara, ini serius di bawa semua?"

"Iya, dong. Rara akan bawa semuanya."

"Hah, terserah. Yang penting jangan taruh sampah-sampah ini di kamarku."

Sial, dikiranya barang-barangku ini sampah? Pengen ku gigit si Pak Bima ini.

***
Sebelum pergi, aku menyalami Ibu, Ayah, dan Kak Rey. Sebenarnya aku sedih jika harus berpisah dan meninggalkan rumah ini. Tapi, mau bagaimana lagi?

"Rara, sekarang kamu sudah menikah. Jangan bandel, apalagi keluyuran tidak jelas seperti hari-hari kemarin. Ingat, sekarang kamu seorang istri, sudah bukan waktunya main-main. Kamu harus patuh pada suamimu, dan jangan membangkang. Mengerti?"

"Mengerti, bu."

Yaiyalah mengerti, orang aku dipaksa dewasa sebelum waktunya. Hah, emosi lagi deh.

"Rara, sering-sering kesini, ya? Ayah bakal rindu dengan putri kecil Ayah ini."

"Iya, yah."

Ayah, maafin aku. Mungkin aku tidak akan ke sini lagi kecuali dalam keadaan terpaksa, maaf, Ayah.

"Rara, Kakak gak rela kamu pergi dari rumah ini. Emang harus tinggal di rumah Pak Bima, ya? Gak bisa tinggal di sini saja?"

"Maaf, Kak, Rara harus ikut Pak Bima. Selain Pak Bima suami Rara, Rara pun harus berbakti padanya."

"Yaudah, kamu jaga diri baik-baik, ya. Jangan lupa sering ke sini nengok Kakak. Kalau kamu rindu, telpon Kakak, ya?"

"Iya, Kak."

Pak Bima mengapit pundakku, rasanya kaku sekali. Lebih mirip di gandeng sama manekin. Tangannya itu loh, berat.

"Ayah, Ibu, Rey. Bima dan Rara pamit dulu. Jaga diri kalian baik-baik. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Sebelum masuk ke dalam mobil Pak Bima, aku kembali menatap Ibu, Ayah, dan Kak Rey.

Entah kenapa, aku ingin menangis. hati kecilku berontak.

"Rara, masuk. Jangan di pandangi terus, yang ada kamu bakal ragu untuk ikut tinggal bersamaku."

Aku bergegas masuk dan mengambil posisi duduk tepat di samping Pak Bima. Sontak tangisku pecah, bersamaan dengan mobil yang melaju kencang.

***
"Pak, kamar Rara yang mana?"

Aku benar-benar takjub dengan rumah Pak Bima, benar-benar wow.

"Ini kamarmu." kata Pak Bima seraya menunjuk salah satu kamar yang ada di lantai atas.

"Yaudah, terus kamar Pak Bima yang mana?"

"Yang ini juga."

"Ha? Bukannya kita gak boleh tidur bersama? Kok malah satu kamar?"

Heran dengan Pak Bima, kemarin katanya tidak boleh tidur bersama. Sekarang malah satu kamar. Aneh.

"Dasar bodoh, maksudnya itu satu ranjang."

Pak Bima menyentil dahiku, membuatku terkejut dan ingin menelannya hidup-hidup. Untung aku bukan dinosaurus.

"Yaah, Pak Bima gimana, sih? Atau Rara tidur di kamar yang itu saja."

"Gak boleh, Rara. Nanti apa kata Ayah? Kamu mau di omelin Ayah? Sudah, jangan membantah. Bawa semua barangmu ke dalam kamarku."

Hah, ini tidak sesuai ekspetasi mah. Bagaimana aku bebas berkreasi, coba? Kamarku adalah kamar Pak Bima juga. Yang ada malah ambyar.

"Terus, bagaimana dengan kertas-kertas Rara? Mading Rara? Stiker Rara?"

"Taruh di gudang."

"Ya, gak bisa gitu dong, Pak! Pokoknya Rara mau naruh semua ini di kamar Rara dan Pak Bima. Titik."

"Terserah."

"Yaudah, baguslah."

Aku segera menata semua barang-barangku di dalam kamar Pak Bima. Pokoknya kamar ini harus jadi kamarku, biar Pak Bima saja yang keluar dari kamar ini.

Tunggu dulu, kalau ranjangnya cuma satu, bagaimana kami tidur nanti?

"Pak, itu ranjangnya gimana? Gak mungkin di bagi dua, kan?"

"Yaiyalah, itu ranjangku. Kamu tidur di bawah, nanti aku belikan kamu matras kecil."

"Yaudah, secepatnya! Kalau matrasnya belum di beli, otomatis Rara tidur di ranjang, Pak Bima di kamar lain. Oke?"

"Diam, cerewet!"

Setelah mengataiku cerewet, Pak Bima bergegas mengambil kunci mobilnya dan pergi entah kemana. Biarin, peduli amat!

Hm, oke Rara, waktunya berkreasi! Kamu harus menyulap kamar ini sesuai keinginanmu. Soal Pak Bima? Biarin aja, siapa suruh ia tidak mau tidur di kamar terpisah.

BERSAMBUNG

RARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang