Part 65

633 53 3
                                    

POV BIMA

***

     Sekarang aku punya hobi baru. selain kelonin istri tercinta, aku juga kelonin calon anakku. Sebelum tidur, kuelus perut buncit Rara. Disaat bersamaan dedek bayinya ikut menendang tepat diarea yang dielus. Jangan tanya bagaimana perasaanku, sudah pasti sangat bahagia.

"Sayang ... Tendangannya kencang banget! Hahahaha." aku bersorak riang.

"Iya, Rara tahu, kok. Orang Rara yang rasain efeknya," ucap Rara sembari mengunyah potongan apel yang sengaja kuberikan untuknya.

"Sayang, emang efeknya gimana, sih?" tanyaku penasaran. Yaiyalah penasaran, orang aku lihat sendiri bagaimana kaki dan telapak tangan dedek bayinya menonjol seolah-olah ingin melubangi kulit perut istriku. Mungkinkah rasanya sakit? Entahlah, aku sendiri tidak tahu.

"Efek apa?"

"Bukan, maksudnya bagaimana rasanya ketika dedek bayinya nendang? Sakit?"

"Yaiyalah, sakit! Pak Bima lihat sendiri 'kan kemarin? Rasanya mau bolong."

"Apa? Benaran mau bolong?"

Ih ... Ngeri juga, ya. Membayangkannya saja seram. Aku malah kepikiran, bagaiman jika perut Rara benaran bolong? Tidak, tidak. Itu tidak mungkin.

"Iyalah! Rasa sakitnya setara saat kita ditendang kuda."

"Apa? Ditendang kuda? Gila. Jangan nakutin, ah!"

"Yeleeeh ... Sok ngeri! Kayak Pak Bima yang ngerasain aja."

"Ih, Rara. Benaran ngeri. Kebayang 'kan? bagaimana rasa sakit ditendang kuda. Nggak mungkin begitu."

"Hmm ... Sok! Emang Pak Bima pernah ngerasain ditendang kuda?"

"Belum pernah, sih. Tapi aku yakin, itu sangat sakit."

"Ya, begitulah. Makanya, Pak Bima harus turuti permintaan Rara. Apapun itu. Ingat, Rara ini lagi berjuang demi anak kita, loh. Apalagi kandungan Rara udah masuk bulan ke-8, mana dedek bayinya aktif lagi. Tiap hari Rara harus ngerasain tendangan kuda."

Ah, Istriku benar. Pokoknya aku janji, akan selalu menuruti permintaannya. Aku akan bahagiakan dia.

"Kamu tenang aja, istriku. Tanpa kamu minta, aku akan melakukannya."

"Janji?"

Tunggu! Kok, aku menangkap sesuatu mencurigakan dari senyuman Rara, ya? Hm ... Sudah kuduga.

"Iyaaa ... Janji!"

Aku menautkan kelingkingku di kelingking Rara. Sebagai tanda kalau aku sudah berjanji.

"Oke ... Sekarang Rara pengen seblak. Ingat, Pak Bima sudah berjanji! Jangan coba-coba menolak."

Tuh, kan? Ah ... Tidak mengapa. Demi membahagiakan istri,  aku akan lakukan apapun. Huuufftt ...

"Yaudah, segera dipesan."

"Tidak mau. Maunya suami Rara yang ganteng ini yang belikan."

"Loh ... 'Kan bisa dipesan? Tinggal deliveri."

"Nggak mau! Soalnya Rara pengennya kita berdua yang pergi ke sana."

"Jangan, dong. Yaudah ... Aku akan cari seblaknya. Kamu nggak usah ikut."

"Nggak mau, Pak. Pokoknya ikut!"

Hm, bagaimana ini? Ini 'kan sudah larut malam. Tapi kalau tidak dituruti, kasihan juga Rara. Mana mukanya cemberut kayak moncong ayam lagi.

"Yaudah ... Tapi kamu nggak boleh keluar mobil, biar aku yang beli seblaknya. Bagaimana?"

"Oke! Yaudah, sekarang kita berangkat."

RARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang