Part 32

853 71 3
                                    

"Ingat Ayah, suatu saat Ayah akan menyesal!" ancam Kak Rey langsung menarik pergelangan tanganku, ia sudah tidak tahan lagi dengan sikap Ayah, makanya memilih untuk keluar dari sini.

Aku menatap Ayah sekilas, tidak ada reaksi sama sekali. Entahlah, mata hatinya telah tertutup dengan obsesinya pada Mbak Delta.

"Ayo, Rara, buat apa lagi kita di sini? Buang-buang waktu, ia bukan Ayah kita lagi," desis Kak Rey, ia menarik pergelangan tanganku dengan paksa. Sementara Ayah, ia masih saja diam, tapi tatapannya nanar.

"Iya, Kak." aku menuruti Kak Rey, keluar dan membuntutinya dari belakang.

Sesaat, aku teringat Ryu. Bagaimana keadaan balita itu? Apakah masih sama?

"Kak," aku mencegat lengan Kak Rey, membuatnya berhenti.

"Ada apa?" tanyanya sambil menautkan kedua alisnya,

"Em, kita tengok Ryu, ya?" ucapku dengan sangat hati-hati,

"Tidak!" jawabnya mantap. Kak Rey kembali melanjutkan langkah, tidak menggubrisku sama sekali.

"Kakak, ayolah, sekali ini saja." pintaku padanya, berharap ia mau membuka hatinya dan menemui Ryu.

"Kakak bilang tidak, ya, tidak! Jangan memaksa, Rara!" bentak Kak Rey kasar, emosinya mulai nampak.

Jika sudah begini, lebih baik aku tidak memaksanya. Takutnya, ia bakal marah besar padaku, aku tidak mau itu.

"Baiklah, Kak. Yaudah, kita temui Ibu, ya?" ucapku berusaha mencairkan suasana,

Kak Rey mengulas senyum sekilas,

"Ayo. Oh ya, soal Ayah, kamu jangan kasih tahu Ibu dulu, ya?"

"Soal Ayah? Maksudnya?"

"Soal tadi, Ayah lebih memilih mempertahankan wanita itu, dan menyalahkan kamu. Kakak takut, Ibu bakal kepikiran."

"Iya, Kak. Kakak tenang aja, Rara tidak akan bicara apa-apa, kok."

"Bagus. Ayo, kita temui Ibu, kasihan Ibu tidak ada yang menunggui."

"Loh, Bibi Tanuja kemana?"

"Bibi dan Justin pulang sebentar, nanti malam bakal balik lagi ke sini."

"Oh, baiklah. Oh, ya, Kak, nanti malam Rara sama Pak Bima pulang, ya? Besok pagi baru ke sini lagi, tidak apa-apa 'kan?"

"Tidak apa-apa, kok. Lagian, kamu 'kan sudah menikah. Nanti malam, biar Kakak, Bibi, dan Justin yang jaga Ibu."

"Eheheh, makasih, ya, Kak."

"Biasa aja, deh. Mentang-mentang udah nikah, sifat pun dirubah. Ini baru namanya nikah positif."

"Nikah positif? Maksudnya?"

"Ada, deh. Hahahah."

"Aiisssh, Kakak!"

Disaat-saat seperti ini, entah kenapa aku hanya kepikiran Ryu. Jujur, balita itu berhasil menyentuh hati kecilku. Ah, Ryu, malang sekali kamu, Nak.

***
"Eh, Non dan Tuan sudah pulang? Bagaimana keadaan Ibu Sarah?" tanya Bi Tun saat aku dan Pak Bima baru sampai rumah.

"Alhamdulillah, sudah lebih baik dari sebelumnya." jawabku sambil merebahkan pantatku di sofa ruang tamu, disusul Pak Bima.

"Oh, ya, Non, mau dimasakin apa?" tanya Bi Tun lagi,

Aku melirik Pak Bima, suamiku itu tampak kelelahan.

"Pak, mau dimasakin apa sama, Bi Tun?" Tanyaku padanya, sesekali aku menguap.

RARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang