***
Siang ini, aku rencananya mau ke rumah Ayah. Namun harus kubatalkan gegara dapat kabar dari Bi Tun tentang keadaan Rara.
[ Den, cepat pulang. Non Rara kontraksi, dari tadi nangis kejer gara-gara nggak bisa nahan sakit ]. Begitulah isi pesan yang kuterima dari Bi Tun.
"Bro, kenapa? Kok, buru-buru gitu?" tanya Evan menatap penuh selidik.
"Aku harus pulang, Van. Sepertinya Rara mau lahiran," jawabku sembari memasukkan tupperware ke dalam tas.
"Wah ... Rara mau lahiran? Aku ikut, ya."
"Bggak usah, nanti kukabari baru kamu bisa ke sana. Oke?"
"Yaudah, semoga dilancarkan."
"Aamiin. Aku cabut, ya."
Aku merasa gelisah. Bagaimana tidak? Setahuku, kandungan Rara baru saja memasuki usia ke-8. Lantas, bagaimana bisa ia kontraksi? Apa jangan-jangan, ada masalah dengan kandungan Rara? Ya Allah ... Semoga itu hanya pikiranku saja.
***
Melihat ekspresi Rara yang kesakitan, tanpa sadar air mataku meleleh. Tidak tega.
"Sayang ... Kamu sabar, ya? Sebentar lagi kita akan sampai di rumah sakit." kucoba tenangkan Rara, sambil memeluk dan membelai kepalanya dengan lembut.
Kusuruh Rey menambah kecepatan mobilnya. Kelamaan di dalam mobil membuatku semakin sesak jadinya, belum lagi harus melihat keadaan Rara yang begitu memprihatinkan.
"Rey, cepat! Kasihan Rara."
"Iya, Pak. Ini sudah cepat, loh."
Ya Allah ... Semoga kesulitan ini cepat berlalu. Di sisi lain aku bahagia sebab sebentar lagi aku akan menjadi seorang Ayah. Namun, di sisi lain aku juga iba dan tidak tega pada istriku. Lantas, aku harus bagaimana?
***
Di depan ruang bersalin, aku mondar-mandir tidak tenang. Sama halnya Bi Tun, Ibu Mertua, dan juga Rey. Mereka sama tegangnya denganku.
"Suaminya Mbak Rara?" tanya Dokter Yuli, dokter yang menangani Rara di ruang bersalin.
"Iya, Dok. Saya suaminya."
"Baiklah, mari ikut saya ke ruangan. Ada yang harus saya sampaikan."
Hatiku dilanda perasaan was-was kala Dokter Yuli mengajakku ke ruangannya. Apa terjadi sesuatu pada Rara? Atau bayi kami? Tidak, aku tidak dapat membayangkannya.
Kucoba tenangkan hati dengan pikiran-pikiran positif. Seperti kata Ayah ditelpon, aku tidak boleh berpikir negatif. Harus yakin dan percaya.
***
Dokter Yuli mempersilahkan aku duduk. Sembari menunggu, kucoba berpikir positif. Seperti yang Ayah anjurkan padaku.
"Begini, Pak. Melihat kondisi psikis Mbak Rara, kemungkinan ia tidak bisa melahirkan nornal." Dokter Yuli memulai pembicaraan.
"Ma--maksudnya bagaimana, Dok?"
Terkejut? Tentu. Kalau Rara tidak bisa melahirkan secara normal, sudah pasti ia akan dioperasi.
"Ya ... Kita akan lakukan operasi cesar pada Mbak Rara. Ketubannya nyaris kering, sedangkan Mbak Raranya sudah sangat lemah. Otomatis, ia tidak mampu lagi mengejan. Oleh karena itu, kami pihak rumah sakit meminta persetujuan Pak Bima untuk hal ini."
Ya Allah ... Bagaimana ini? Kalau aku tidak setuju, kasihan Rara. Namun, kalau aku setuju, apakah Rara akan baik-baik saja? Aku dilema Yaa Allah.
"Dok ... Apa tidak berbahaya? Maksud saya, apa dokter bisa menjamin keselamatan Ibu dan bayinya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
RARA
RomanceSINOPSIS: Sering menerima perlakuan tidak adil dari ibunya, membuat Rara tumbuh menjadi gadis tidak biasa. gadis cantik blasteran itu menjadi kebal rasa. Karena bandel, Rara sering mendapat teguran dari pihak sekolah perihal nilainya yang buruk dan...