Part 40

836 72 11
                                    


POV BIMA

***
"Dok, istri saya sakit apa?" tanyaku sesaat setelah Dokter memeriksa Rara. Jujur, aku gelisah sekaligus was-was. Aku tidak ingin terjadi apa-apa pada Raraku.

Dokter Emma tidak langsung menjawab. ia tersenyum lebar, lalu duduk di kursi kerjanya.

"Istri Bapak baik-baik saja, kok. Mual serta pusing yang dirasakan Rara sudah biasa terjadi pada Ibu hamil,"

Kali ini aku terkejut. Bukan hanya aku, tapi Rara dan juga Eyang. Ya Allah, istriku hamil?

"Dok, maksudnya mual dan pusing yang dirasakan istri saya itu, semata-mata karena ia hamil?" tanyaku sekali lagi, berharap Dokter Emma berkata jujur.

"Benar sekali, Pak. Selamat, ya. Kandungan Rara sudah memasuki usia 5 minggu, harus dijaga dengan baik."

"Alhamdulillah, Sayang ... Kita bakal punya anak,"

Bergegas ku dekap erat tubuh Rara, bocah pembuat onar yang tingkahnya selalu membuatku jatuh cinta. Jujur, aku ingin menangis tapi gengsi. Aku tidak menyangka, sebentar lagi kami bakal punya anak.

"Ternyata dugaan Eyang benar, pasti di perut Rara sudah ada Bima junior. Syukurlah, sebentar lagi Eyang mau punya cicit," tukas Eyang sembari mengelus pundak Rara dengan lembut.

Kutatap Rara, wajah cantiknya terlihat pucat. Namun bibir mungilnya tengah mengulas senyum. Aku tahu, ia juga sama bahagianya denganku.

"Dok, jadi Rara mau punya bayi? Itu artinya, di perut Rara ada bayinya?" tanya Rara dengan polos. Sumpah, aku selalu dibuat gemas dengan kepolosannya itu.

Dokter Emma tertawa kecil, selanjutnya ia menganguk pelan.

"Benar sekali, Rara. Oleh karena itu, kamu harus banyak istirahat, dan kurangi aktivitas berat. Oh ya, kamu juga harus banyak mengkonsumsi buah dan sayuran. Kurangi makanan pedas, ya."

"Baik, Dok. Terima kasih,"

***
Sepulang dari Klinik, Rara kembali mual-mual. Aku dibuatnya kalang kabut, ini salah itu salah. Rara sama sekali tidak mau makan apa-apa, air putih pun ia tak mau.

"Uwweeek!! Uweeek!!"

Melihat Rara seperti itu, aku jadi kasihan. Wajahnya pucat pasi, matanya nampak cekung karena tidak tidur semalaman.

"Sayang, sudah mualnya?" tanyaku seraya memijit tenguknya pelan,

"Rara pusing, Pak," jawabnya langsung bergelayut di lenganku, Ia terkulai lemas.

"Yaudah, sekarang kamu istirahat, ya?" aku menggendong Rara, lalu membaringkannya di atas ranjang.

***
"Bagaimana dengan, Rara? Apa ia sudah tidur?" tanya Eyang padaku. Seperti biasa, aku dan Eyang ngobrol ringan di ruang tamu.

"Iya, Eyang. Kasihan Rara, Bima jadi tidak tega. Apa semua wanita hamil bakal seperti Rara, Eyang?"

"Ya, tergantung. Kalau di zaman Eyang dulu, jika ada wanita yang ngidamnya seperti Rara, dinamakan ngidam jahat."

"Ngidam jahat? Ngidam jahat itu apa, Eyang?"

"Ya ... Itu, ngidamnya ngarat kayak si Rara. Mual-mual, pusing, dan tidak mau makan apa-apa. Semoga saja, Rara ngidamnya kagak lama. Eyang jadi kasihan, tubuh mungilnya bakal kurusan kalau ia lagi ngidam jahat,"

Jadi, Rara ngidam jahat? Ah, kasihan sekali istriku. Seandainya saja yang ngidam itu aku,

"Terus, apa yang harus Bima lakukan, Eyang?"

"Gampang. Kamu tinggal turuti semua permintaannya, jangan kamu tolak. Sebab, sekali kamu tolak, ia bakal merasa tidak disayang. Wanita hamil kadang suka marah-marah, jadi kamu harus lebih mengerti. Seandainya Rara marah-marah tidak jelas, jangan diladeni atau dibalas. Nantinya bakal runyam. Pokoknya, kamu harus ngalah."

RARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang