Emma menatap geram. Kedua tangannya mengepal erat, seakan ingin menghantam diriku. Aku akan lihat, tindakan apa yang akan ia lakukan selanjutnya?"Kenapa menatapmu seperti itu? Mau ku jambak lagi?" ketusku sambil berkacak pinggang.
"Sombong kamu bocah! Kamu lihat setelah ini, aku akan membalas kesombonganmu itu. Camkan itu baik-baik!" Emma mengancamku. Ia pikir aku takut? Halah, kita lihat saja nanti. Siapa yang lebih ganas, istri sah atau pelakor!
"Oh, ya? Terus, kamu pikir aku takut? Emma ... Oh, Emma ... Kasihan sekali kamu. Mentang-mentang calon janda, kamu dengan suka-suka mendekati suamiku? Rendahan, kuy." aku tertawa sinis, tidak peduli dengan perubahan raut wajah Emma yang sudah merah padam tersulut amarah.
"Kamu meremehkanku? Ahahaha, oke, lihat saja nanti! Kamu akan menyesal!" Emma lekas mengambil langkah menuju mobilnya yang terparkir. Panas kali, ya? Wkwkwkwk.
"Hati-hati di jalan, Emma! Kamu tidak akan tahu, kapan bahaya mulai mengintaimu!" gumanku dengan sinis.
***
"Bagaimana dengan Eyang, Pak? Apa Eyang masih kesal pada Rara?" tanyaku sambil merebahkan diri di samping Pak Bima. Aku tidak yakin, jika malam ini aku akan tidur nyenyak. Jujur, rasa bersalah menyeruak dalam hati. Rasa bersalah pada Eyang."Sepertinya begitu, Ra. Kamu tenang aja, paling besok udah membaik. Eyang itu kalau lagi marah, paling lama hanya sehari. Tidak usah dipikirkan, ya? Sekarang kamu tidur, kasihan dedek bayi. Ia juga butuh istirahat,"
"Tapi, Pak ... Rara tidak akan bisa tenang, kalau Eyang masih bersikap dingin."
"Sudah ku bilang, kamu tenang saja. Soal Eyang, biar aku yang urus. Pokoknya, istriku yang paling cantik ini tidak boleh stres. Okey? Kasihan dedek bayinya, sayang,"
"Baiklah. Semua gara-gara Emma! Lagian, kenapa juga wanita itu hadir di tengah-tengah keluarga kita? Bikin resah saja!"
"Sayang ... Sudahlah. Sekarang kamu tidur, ya?"
"Ntar dulu, suamiku sayang. Oh ya, tadi Eyang bilang apa tentang Rara?"
Pak Bima tidak langsung menjawab, melainkan tersenyum sambil memainkan rambutku.
"Pak! Ih, ditanyain malah senyam-senyum. Ngeselin amat,"
"Tidak ada, sayang. Eyang tidak bicara apa-apa, ia hanya diam dan mengusirku keluar."
"Apa? Mengusir keluar?"
"Iya. Alasannya, Eyang mengantuk. Pengen istirahat,"
"Tuh, 'kan? Pasti Eyang marah banget sama Rara."
Hm ... Aku harus cari cara untuk menyelesaikan masalah ini. Bagiku, Emma adalah petaka yang harus disingkirkan. Namun, bagaimana caranya? Aku tidak mau mengotori tanganku, apalagi bersusah payah mengoyak kulitnya. Arghh ... Ini benar-benar sulit.
"Sayang ... Kok, malah bengong? Tidurlah, sudah larut malam," tegur Pak Bima seraya mentoel daguku, berkesan mesra.
"Iya, Pak." aku tersenyum simpul, mencoba pejamkan mata meskipun itu sulit.
"Good night, istriku," ucap Pak Bima seraya mendaratkan kecupan mesra di keningku.
"Ucapan yang sama untukmu, suamiku." ku benamkan kepala di ketiak Pak Bima, dibalas dengan dekapan hangat yang menggetarkan jiwa.
***
Pagi ini terkesan tidak biasa. Tidak ada canda seperti hari-hari sebelumnya, yang ada hanya kecanggungan. Ya, Eyang mendiamkanku dan Pak Bima. Ia hanya mau bicara pada Bi Tun."Eyang ... Rara minta maaf, soal tadi malam." aku memberanikan diri bicara dan mengucap maaf pada Eyang, ku rasa ini lebih baik daripada harus perang dingin dengannya.
Tidak ada respon. Eyang sama sekali tidak menanggapi ucapan permintaan maaf dariku. Sefatal itu kah kesalahanku? Hey, bukankah aku tidak salah? Harusnya Eyang mengerti dan menghargai posisiku. Huft ... Sabar, Rara. Jaga emosi.
Pak Bima meraih dan menggenggam telapak tanganku, seakan tahu kalau istrinya ini lagi dilema plus emosi gara-gara Eyangnya.
"Eyang ... Bima berangkat dulu, ya? Assalamu'alaikum." Pak Bima pamit berangkat kerja. Tidak lupa ia menyalami Eyang, lalu mengecup lembut keningku.
"Wa'alaikumsalam. Hati-hati ya, Pak," ucapku seraya meraih dan mencium punggung tangannya.
"Siaaaap. Eyang, Bima berangkat, ya?"
Eyang menganguk pelan, mengoles rotinya dengan selai. Ia sama sekali tidak melihatku.
Sepeninggal Pak Bima, suasana tambah tidak mengenakkan. Eyang yang semula diam, sekarang suka menyindir.
"Tun ... Kenapa ya, anak menantu zaman sekarang suka tidak sopan? Merasa sok benar, sampai-sampai ia tidak menghargai keluarga pihak suami. Tega banget," sindir Eyang sesekali melirikku. Jujur, aku paling tidak suka dikatai seperti itu. Terlebih lagi, aku berada di pihak yang benar.
Sepertinya, aku harus menyindir Eyang balik. Agar ia sadar kesalahannya, apalagi sampai membawa wanita lain ke dalam rumah ini.
"Oh ya, Bi ... Kenapa juga, ya? Zaman sekarang banyak Mertua dan antek-anteknya suka tegaan dan tidak mengerti perasaan menantunya? Membawa wanita lain ke dalam rumah tangga anaknya, dan membiarkannya leluasa di sana. Biar apa coba? Kayak gak pernah berumah tangga aja. Atau jangan-jangan, itu sudah kebiasaan yang menjamur, ya? 'Kan kasihan menantunya. Sudah kecewa, makan hati pula. Yang salah siapa?" Eyang tergeming, menatapku tanpa ekspresi.
Bi Tun sama sekali tidak menanggapi, sebab ia tahu maksud ucapan kami yang saling menyindir itu.
"Bi ... Rara keluar dulu, ya? mau ke rumah Ibu. Sebab di sana ada kedamaian. Kalau Pak Bima pulang, suruh ia menyusul. Ponsel Rara kena virus, sementara di servis."
Mungkin ini lebih baik, ke rumah Ibu dan menenangkan diri. Bukan apa-apa, aku hanya takut kalap dan melakukan hal-hal yang tidak diinginkan. Aku sadar kalau saat ini aku tengah hamil dan tentunya tidak boleh stres. Takutnya terjadi apa-apa dengan dedek bayi.
"Kenapa harus ke sana? Mau mengadu?" Eyang tiba-tiba berdiri dan menatap tajam ke arahku, semakin membuat hati ini dongkol.
"Mengadu? Rara bukan anak-anak lagi, Eyang. Setidaknya di sana Rara tenang. Daripada di sini? Setiap hari harus makan hati gara-gara tamu Eyang itu." aku sudah coba menahan bibir ini agar tidak berucap demikian di depan Eyang. Apalah daya, aku tidak bisa.
"Jangan ke sana! Eyang janji, tidak akan menfajak Emma main ke sini lagi." Eyang berucap lirih. Sepertinya, ia serius dengan ucapannya.
"Serius, Eyang?"
"Apa wajah Eyang ini tidak meyakinkan? Serius, lah. Eyang sadar, sudah salah bertindak selama ini. Maafkan Eyang, sudah melukai perasaanmu."
Apa? Jadi ... Eyang sudah memaafkanku?
BERSAMBUNG
Maaf mak guys ... Mak Dora baru nongol. Sekali nongol malah sedikit. Maklum ya, masih suasana lebaran. Jadi masih keliling sana sini mengunjungi saudara😂 Insha Allah mulai besok, posting sudah normal.
KAMU SEDANG MEMBACA
RARA
RomanceSINOPSIS: Sering menerima perlakuan tidak adil dari ibunya, membuat Rara tumbuh menjadi gadis tidak biasa. gadis cantik blasteran itu menjadi kebal rasa. Karena bandel, Rara sering mendapat teguran dari pihak sekolah perihal nilainya yang buruk dan...