Part 60

741 65 6
                                    


***
"Masak apa, Bi?" tanyaku sambil meraih gelas dan mengisinya dengan air putih. Pagi ini tenggorokanku terasa kering. Entahlah, mungkin efek lapar. Kalau bukan lapar, pasti karma gara-gara ngusilin si Rara. Ampun dah.

"Masak saus terong sama sambal terasi, Den," jawab Bi Tun masih sibuk menata meja makan.

"Saus terong? Tumben. Tapi, bukannya Rara nggak suka terong, Bi?"

"Nggak tahu juga, Den. Non Rara sendiri yang minta. Katanya pengen makan saus terong dan sambal terasi."

"Oh, begitu? Yaudah, nggak apa-apa. Kelihatannya enak sekali. Boleh saya cicipi?"

"Nggih, Den. Oh ya, Non Rara kenapa, ya? Tadi pagi Bibi lihat ia lagi kesal, mukanya masam gitu."

Waduh ... Gawat! Benar 'kan dugaanku? Pasti gara-gara semalam. Salahku juga, sih. Gak bisa sabar dan nahan diri. Rara 'kan lagi hamil? Akhh ... Bodoh kamu Bima!

"Masa sih, Bi?"

"Iya, Den. Bahkan--" Bi Tun menjeda kalimatnya, semakin penasaran aku jadinya.

"Bahkan apa, Bi?"

"Itu ... Anu, Den. Eng ... Non Rara--"

Aduh ... Bi Tun kok, mendadak gagap begini? Sepertinya, ada yang tidak beres.

"Apa, Bi? Bicara yang jelas, dong."

"Anu, Den. Non Rara sampai bolongin seragam Aden dengan setrika panas."

"Apa? Bolongin seragam?"

"Benar, Den."

Raraaaaaaa!! Huft ... Kalau saja si biang kerok itu tidak sedang mengandung buah hatiku, sudah pasti kucubit pipinya sampai merah kebiruan! Sabar, Bima.

"Oh ... Nggak apa-apa, Bi. Seragam saya 'kan banyak? Di lemari saya lihat masih ada beberapa."

"Ehehehe ... Bukan soal itu, Den. Masalahnya itu Non Rara. Kok, tiba-tiba bisa begitu, ya?"

"Biasalah, Bi. Orang ngidam kadang bisa mendadak sinting."

***
Di kantor, aku jadi tidak fokus. Ada banyak hal yang mengganggu pikiran, salah satunya Prass. Aku harus meluruskan masalah ini, jalan satu-satunya adalah bertemu Emma dan memintanya menjelaskan kebenaran pada Prass.

"Bro! Ngelamun aja. Itu ponselnya dari tadi nangis, malah dianggurin. Angkat, gih!" Evan tiba-tiba datang dan menepuk pundakku dengan keras.

"Eh ... Sotoy! Siapa yang ngelamun? Ngaco," bantahku.

"Yaudah, telponnya diangkat. Bising telingaku."

"Yowes! Bentar ya, aku angkat telepon dulu. Sana, lanjutkan pekerjaanmu. Jangan ganggu aku." aku sengaja mengusirnya dari hadapanku. Risih juga kalau ia sampai dengar percakapanku dengan Rara.

"Iyeeee," kelakar Evan. Sesaat kemudian ia berlalu pergi.

Oke, kembali ke poin. Ini si Rara telepon aku kenapa, ya? Mencurigakan.

"Halo, istriku tercinta," sapaku dangan nada selembut mungkin.

"Jangan sok manis! Cepat ke rumah dan temui tamu Pak Bima sebelum ia babak belur!"

Tamu? Siapa lagi, sih? Hah ... Bikin spot jantungku naik. Tunggu, babak belur? Astaga ... Itu artinya, Rara sedang dalam keadaan marah. Gawat!

"I--iya sayang. Aku segera pulang. Oh ya, kalau boleh aku tahu, siapa tamunya?"

"Siapa lagi? Suaminya Emma. Ia datang ke rumah dan marah-marah pada Rara. Cepat pulang sebelum kesabaran Rara habis. Telinga ini sudah bising!"

Astaga ... Pria itu? Kenapa datang lagi, sih? Hah, kenapa masalah selalu saja mampir dalam rumah tanggaku?

"Baik, sayang. Aku ke sana. Ka--"

Rara ... Oh Rara. belum selesai aku bicara, teleponnya diakhiri begitu saja. Gak ada akhlak! Untung aku cinta.

***
"Bro ... Kamu mau kemana?" tanya Evan tiba-tiba saja muncul layaknya hantu. Dasar kepo.

"Van ... Aku izin pulang, ya. Di rumah ada sedikit masalah, dan aku harus pulang."

"Masalah? Ada apa dengan Rara? Apa ia baik-baik saja?"

"Rara baik-baik saja, kok."

"Lantas?"

Huh, dasar Evan kepo!

"Pokoknya."

"Baiklah. Salam buat Rara."

"Iya. Aku pulang, bye."

***
Ketika aku melangkah ke arah mobil, seorang wanita tiba-tiba datang menghadang.

"Bima ... Tunggu! Aku ingin bicara, penting."

Aku menoleh ke wanita tersebut, selanjutnya mendelik kesal setelah tahu siapa yang datang.

"Kamu? Maaf, aku sedang buru-buru. Lain kali saja."

"Bima, please ... Hanya sebentar."

"Emma ... Kurasa aku harus jujur padamu. Tolong jangan pernah menemui atau melibatkanku dalam perkara rumah tanggamu. Kamu mengerti 'kan?"

Emma memasang wajah memelas. Dasar munafik!

"Bima ... Aku minta maaf soal perilaku dan ucapan kasar Mas Pras terhadapmu. Ketahuilah, ia sengaja melakukan itu agar aku mau menerimanya kembali. Tapi, itu tidak mungkin. Aku sudah tidak mencintainya."

"Terus, kamu ingin mengkambing hitamkan aku? Begitu?"

"Tidak, Bima. Aku hanya ... Aku hanya ingin kamu menolongku. Mas Prass itu jahat, aku tidak mau tinggal maupun rujuk dengannya."

Dasar wanita stres! Ingin aku agar menolongnya? Sekarang saja ia sudah membuatku stres. Apalagi menolongnya. Gila!

"Itu urusanmu. Asal kamu tahu, Emma. gara-gara kamu, rumah tanggaku sedang dalam masalah. Dan satu lagi, aku tidak mau berurusan denganmu!"

"Bima ... Ka--kamu, kamu jangan seperti itu. Aku ini temanmu, dan aku butuh bantuanmu. Mengertilah."

Dasar wanita gila! Daripada kesal, lebih baik aku pulang.

"Bima, kamu mau kemana?"

"Kamu tidak lihat? Aku mau pulang. Dan jangan halang-halangi aku, oke?"

"Bima--"

Aku berbegas masuk ke dalam mobil, menarik pedal gas dan melaju dengan kecepatan tinggi. Biarkan saja wanita stres itu di sana. Suami istri sama saja, sama-sama stres. Oh Tuhan ... Kenapa aku harus bertemu mereka? Benar kata Rara, semua ini salahku.

BERSAMBUNG

Halo Emak-emak readers setianya Rara. Apa kabar? Maaf ya, Mak Dora tidak pernah muncul lagi. Bukan apa-apa, hanya saja ponselnya rusak. Bukan hanya itu, Mak Dora juga baru saja berduka. Jadi, gak bisa on time di Facebook dan menulis kelanjutannya si Rara. Ini saja ngetiknya minjem ponselnya adik. Doain aja, semoga Mak Dora cepat-cepat dapat rezeki dan bisa beli ponsel baru. Aamiin ...

Untuk malam ini, Mak Dora hanya bisa ngetik segini. Semoga bisa mengobati rasa rindu pada si Rara dan semoga terhibur.

Terima kasih ...

RARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang