Part 33

686 71 1
                                    

***
Pak Bima meraih punggung tanganku, lalu menggenggamnya erat.

"Rara, saranku, lebih baik kita jangan ikut turut pada ancaman Ayah." ucapnya tiba-tiba tanpa ragu, manik matanya menunjukkan keseriusan.

"Kalau kita tidak menurutinya, bagaimana dengan Ryu?"

"Begini, Rara, kalau Ayahmu menganggap Ryu sebagai anaknya, ia tidak mungkin membiarkan Ryu sekarat begitu. Ayahmu itu sudah mendekati tua, mustahil kalau ia bodoh. Kita fokus pada Ibu, jangan pikirkan Ryu."

"Tapi ... Baiklah, Rara nurut apa kata Pak Bima."

Aku pikir ucapan Pak Bima ada benarnya, Ryu itu anak kandung Ayah. Mustahil jika ia tega pada Ryu, sementara Ryu sekarat. Mungkin Ayah sengaja menunda-nunda, agar ia bisa memanfaatkan kondisi Ryu untuk mengancamku. Ah, baiklah Ayah. Silahkan lakukan segala cara agar Ibu memaafkanmu, intinya, itu tidak akan pernah berhasil.

"Rara, kita langsung tengok Ibu, yuk. Soalnya setelah ini aku harus ke Kantor, untuk menindak lanjuti kasus ini."

"Ayo, Rara sudah rindu pada Ibu,"

"Rindu? Baru saja semalam gak jaga Ibu,"

"Eheheh, Pak Bima bisa aja, deh. Ayo,"

***
Sekarang aku di sini, di taman Rumah Sakit. Ayah sengaja mengirimiku pesan, dan memintaku untuk datang ke taman ini.

"Bagaimana tentang tawaran Ayah tadi? Kamu dan Bima sudah memikirkannya, 'kan?" tanya Ayah dengan senyum mengembang, tapi berkesan sinis.

"Iya, kami sudah mengambil keputusan. Dan keputusan Rara adalah, Rara tidak setuju." ucapku mantap, dalam hati aku merasa bersalah pada Ryu. Tapi apa boleh buat? Itu sama  sekali bukan salahku.

"Wah ... Wah ... Berarti kamu tidak sayang pada Ryu? Persaudaraan macam apa itu?" desis Ayah seraya melipat tangannya di atas dada, terkesan santai dan tidak peduli sama sekali. Jahat!

"Persaudaraan macam apa? Ayah masih bertanya seperti itu pada Rara? Ah, Ayah lucu sekali, ya. Soal persaudaraan, kita lupakan sejenak. Lantas, bagaimana dengan Ayah? Apa Ayah sudah pantas di katakan sebagai seorang Ayah? Ahahaha, Rara malah kasihan pada Ayah." tukasku santai, namun dalam hati sangat geram dan ingin melayangkan bogem mentah ke Ayah.

"Sudah, Rara, Kamu jangan sok menggurui Ayah! Kalau kamu tidak setuju, yaudah. Terserah," tandas Ayah tanpa terbebani dengan ucapanku, seakan hatinya telah mati.

"Yaudah." hanya itu kalimat yang bisa ku ucap, bukan apa-apa, aku hanya berusaha menetralisir keadaan.

Tanpa aba-aba, Ayah melongos pergi meninggalkanku di taman ini. Tidak ada raut kekhawatiran di wajahnya perihal kondisi Ryu, anak kandungnya sendiri. Ayah, seegois itu kah?

***
Aku baru saja dari Apotik, menebus obat untuk Ibu. Namun, dari jauh aku melihat ada keributan di depan ruangan tempat Ibu di rawat.

Dengan langkah tergesa-gesa aku ke sana, mendapati Bibi Tanuja dan Ayah sedang adu mulut. Sedangkan Justin dan Kak Rey ada di dalam, mereka menenangkan Ibu.

"Ingat, Ramdan, jangan pernah kamu temui Sarah lagi!" ketus Bibi Tanuja sembari berkacak pinggang, di depannya ada Ayah dengan mimik wajah emosi.

"Maaf, Mbak, aku masih suami Sarah! Jadi, aku masih punya hak bertemu dengannya, paham?" bentak Ayah tidak mau kalah,

"Hey, ngaca, dong! Kamu bilang suami? Mantan suami, karena Sarah sudah melayangkan Surat Gugatan Cerai ke Pengadilan Agama. Mungkin, satu dua hari ini akan keluar, karena Sarah punya kenalan orang dalam. Jadi, kamu siap-siap aja, ya? Kemasi semua barang-barangmu dari rumah Sarah!" bentak Bibi Tanuja sembari mendorong tubuh Ayah dengan keras hingga membentur dinding. sisi galak Bibi sudah mulai nampak perlahan-lahan.

"Ahahah, kemasi barang-barang? Rumah Sarah? Aku harap Mbak tersadar dari ucapan halu Mbak itu, rumah itu atas  Namanku, semua aset atas Namaku! Jadi, kalau Sarah memutuskan untuk bercerai, mau tidak mau Sarah yang harus mengemasi semua barang-barangnya, oke?" balas Ayah sambil mengusap-usap punggungnya.

"Apa maksudmu? Rumah dan semua aset yang kamu kelolah itu warisan orang tua Sarah, dan kamu tidak punya aset apapun. Kamu jangan sok ngaku-ngaku, ya!" teriak Bibi Tanuja dengan suara yang mulai meninggi, tatapannya mengarah pada Ayah. Tajam dan menusuk.

"Tapi kenyataannya memang begitu, kok. Semuanya atas namaku, Mbak mau apa?" Ayah sengaja memancing kemarahan Bibi Tanuja, sepertinya ia berniat merendahkan Bibi.

Seketika Bibi Tanuja terdiam, sementara Ayah tersenyum menyeringai penuh kemenangan. Hah, Ayah belum tahu saja, kalau semuanya sudah dialihkan atas nama Ibu.

Tapi biarlah, aku dan Kak Rey akan menunggu waktu yang tepat untuk membuat Ayah menyesal.

"Ayah, Bibi, sudah! Jangan ribut di sini, kasihan Ibu." Teriakku langsung melerai keduanya,

"Hm, pas banget, Rara. Kamu ada di sini. Bilang pada Bibimu ini, suruh dia minggir dan jangan menghalang-halangi Ayah!"

"Ayah, cukup! Tolong hargai Ibu, jika ia tidak mau ditemui, jangan maksa, dong."

"Terserah! Minggir kalian!"

Ayah langsung mendorong Bibi Tanuja, membuat wanita bertubuh gempal itu langsung jatuh terjerambat di atas lantai.

"Ayah, jangan masuk!"

Aku langsung mencegat lengan Ayah dan menariknya dengan paksa, membuat Ayah terkejut dan menatap murka.

"Kurang ajar kamu, ya!"

Ayah mengangkat tangannya tinggi-tinggi, sepertinya ia berniat menamparku. Namun, dengan cepat aku menahan tangan itu, membuat Ayah tambah murka padaku.

"Oh, kamu mau jadi anak durhaka, ya?"

"Tidak sama sekali, Ayah. Tapi Ayah sudah keterlaluan tahu gak!"

"Lepasin tangan Ayah!"

Aku melepas tangan Ayah, sedikit merasa bersalah karena sudah berani melawannya.

BERSAMBUNG

RARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang