Part 30

778 64 5
                                    

Ayah menatapku tidak percaya, ia syok bukan main, wajah yang semula bertabur emosi mendadak pucat pasi.

"Iya, Ayah, benar! Bukan hanya Rara, Kak Rey juga tahu semua penghianatan yang Ayah lakukan pada Ibu selama ini. Sudah berapa tahun, Yah?  Satu tahun, dua tahun, atau sudah bertahun-tahun?" tanyaku seraya mengusap kasar bulir bening yang merembes secara tiba-tiba.

Ayah tidak langsung menjawab pertanyaanku, diusapnya wajah yang sudah berubah pucat itu dengan kasar.

"Sudah 6 Tahun, Ra. 2 Tahun kami pacaran diam-diam tanpa sepengetahuan Ibumu, hingga tahun berikutnya Mbak Delta hamil. Dengan keadaan terpaksa, Ayah menikahinya, sebab  kandungannya sudah memasuki usia empat bulan. Maafkan Ayah, Rara." ucap Ayah dengan wajah sendu, bergegas ia menunduk, tidak berani menatapku.

"Astagfirullahal'adzim, Ayah? Jadi, selama 6 Tahun ini Ayah menduakan Ibu? Rara kecewa sekali pada Ayah. Bisa- bisanya Ayah melakukan itu, Ibu kurang apa, Yah? Kenapa!"

Sungguh, kali ini aku tidak bisa membendung tangisku. Apa yang dilakukan Ayah, sudah sangat melukai hatiku, apalagi Ibu. Inikah Ayah yang ku bangga-banggakan selama ini?

"Ayah akui, Ayah khilaf, Rara. Ini bukan sepenuhnya salah Ayah, Ibumu juga bersalah atas semua yang terjadi!" Ujar Ayah dengan suara yang mulai meninggi.

"Jangan bawa-bawa Ibu dalam skandal menjijikkan Ayah itu, sangat tidak pantas! Semua salah Ayah, Ayah yang tidak setia dan tidak tahu diri. Jadi, tolong Ayah jangan bawa-bawa Ibu!" bentakku kasar, aku tidak terima jika Ayah ikut menyalahkan Ibu dalam skandal busuknya itu.

"Kamu!" Ayah mengangkat tangannya tinggi-tinggi, sepertinya mau menamparku.

Lekas ku cegat pergelangan tangan Ayah sebelum tangan kasarnya itu menyentuh kulit pipiku. Aku tahu, sangat tidak pantas aku melakukan itu. Tapi, aku juga tidak mau ditampar Ayah.

Ayah menatapku tidak percaya, seketika wajah pucatnya memerah, napasnya memburu.

"Maaf, Ayah. Rara tidak akan pernah mengizinkan tangan Ayah menyentuh pipi Rara!" tegasku pada Ayah. Bagiku, penghormatan untuknya sudah hilang tidak berbekas sama sekali. Entahlah, aku sendiri juga bingung. Semenjak skandal Ayah terbongkar, aku sangat kecewa pada Ayah.

"Rara, kamu benar-benar anak durhaka! Anak tidak tahu diuntung!" maki Ayah padaku, napasnya memburu, seakan siap menerkamku kapan saja.

"Berhenti, Ayah!" teriak Kak Rey tiba-tiba, aku tidak tahu kapan mereka sampai.

"Rey?" guman Ayah pelan, namun aku masih bisa mendengar.

Kak Rey dan Pak Bima bergegas menghampiriku dan Ayah.

"Maaf, Ayah. Bima tidak Izinkan Ayah menyakiti Rara, sebab Rara istri Bima." cetus Pak Bima langsung menarikku ke dalam pelukannya.

Ayah menatap kami bertiga secara bergantian, wajahnya merah padam, kedua tangannya kembali dikepal erat.

"Kalian semua, benar-benar tidak tahu diri! Terutama kamu, Rara. Kalau saja kamu tidak ikut campur dalam masalah ini, pasti Sarah tidak akan semarah ini dan sudah memaafkanku. Aku tahu siapa Sarah, dia bukan orang yang pendendam. Tapi karena kamu sudah menghasutnya, Sarah menggugat cerai Ayah! Puas kamu, ha?" maki Ayah lagi seraya menudingku.

Lagi-lagi, Ayah menuduhku tanpa bukti. Harusnya, ia sadar atas kesalahannya, tapi apa? Ayah benar-benar sudah berubah.

"Cukup, Ayah! Berhenti menyalahkan Rara, salahkan diri Ayah sendiri. Sebagai seorang suami dan juga seorang Ayah, pantaskah Ayah melakukan itu? Pantaskah Ayah diakui sebagi pria yang bertanggung jawab? Hah, tidak pantas. Rey malah senang, Ibu bisa terlepas dari Ayah. Jujur, Rey sayang pada Ayah. Tapi, bukan Ayah yang sekarang! Katakanlah Rey ini durhaka, lantas Ayah apa? Pahlawan? Hahaha, miris sekali."

RARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang