Part 4

797 62 2
                                    

***
Setelah mendengar percakapan Ayah dan ibu tadi malam, aku mulai memikirkan cara agar bisa menghindar. Pokoknya aku tidak mau menikah, apalagi sama Pak Bima seram.

Entah setan apa yang sudah merasuki Ayah dan Ibu, mereka sudah seperti kehilangan akal sehat. Masa iya, aku si bocah kecil akan segera menikah selepas kelulusan nanti? Minimal, aku sukses dulu, kan?

Ayahnya Pak Bima juga apa-apaan, mau-mau saja menjodohkan anaknya yang berprofesi sebagai Polisi dengan seorang bocah? Waras, kah? Padahal di luar sana banyak wanita-wanita karir, yang cocok jadi menantunya.

Itu Pak Bima juga, kok setuju-setuju saja, ya? Ia kan seorang Polisi, kok loyo banget sama hal-hal begituan. Minimal ia menolak, dan mengatakan kalau ia sudah punya kekasih. Hah, benar-benar bodoh. Apa jangan-jangan Pak Bima jomblo?

"Bengong wae, Ra. Ada apa?" tanya Rima sembari menepuk pundakku pelan.

"Gak apa-apa, Rim. Rim, maafin aku, ya? Kemarin udah kasar banget bicaranya."

Rima tersenyum mendengar ucapanku, ia benar-benar sahabat sejati. Aku sangat beruntung bisa bersahabat dengannya.

"Kamu gak salah, kok. Aku tahu, kemarin kamu masih emosi, jadi aku harap maklum."

"Makasih ya, Rim. Kamu benar-benar sangat pengertian."

"Yaelah, Ra, biasa aja."

Beberapa menit kemudian, Pak Nuriman, selaku guru mata pelajaran Matematika masuk ke dalam kelas.

"Selamat pagi, anak-anak." sapa Pak Nuriman sambil membawa sebilah rotan ditangannya.

"Pagi, paaaak!"

"Oke, sekarang Bapak akan kasih tugas individu, dan kalian akan mengerjakannya di papan tulis. Sudah siap?"

"Siap, Paaak!"

Astaga, tugas individu? Dikerjakan di papan tulis? Hah, ini nih, yang paling tidak ku sukai dari Pak Nuriman. Bukan apa-apa, hanya saja aku tidak begitu mengerti dengan mata pelajarannya. Selain berbelit-belit, otakku juga sulit mencerna.

"Baik, soal pertama.  V = 780 cm dan π = 3,14 = ? Ini soal yang mudah, Kan? Jadi, orang pertama yang akan maju adalah, Rara Bastian!"

Deg! Ya Allah, kenapa harus aku yang maju duluan? Apa tidak ada nama lain? Aduh, gawat ini.

"Rara Bastian! Maju."

Suara Pak Nuriman sukses membuatku keringat dingin, belum lagi saat membayangkan sebilah rotan itu mendarat manis di betisku.

"Hei, Rara! Bengong aja. Maju dong,"

Dengan terpaksa aku maju ke depan, menghindari tatapan  Pak Nuriman yang seram pedas.

"Sekarang, kamu jawab pertanyaan tadi."

Aku menganguk pelan, mulai menulis soal yang dibacakan Pak Nuriman di papan tulis.

Aku mulai keringat dingin, benar-benar tidak tahu cara mengerjakannya. Entah itu rumusnya, urutannya, aku benar-benar tidak tahu.

"Rara, kok dari tadi belum ada jawabannya? Udah hampir 5 menit ini, cepatan!"

Aku berusaha menelan ludahku dengan susah payah, hingga aku dikejutkan dengan sebilah rotan yang mendarat manis di betisku. Rasanya nyeri-nyeri pedas, membuat otakku semakin buntu.

"Gak bisa jawab, ya?" tanya Pak Nuriman dengan suara khasnya yang berat, ia tampak mengayun-ayunkan rotan ke telapak tangannya.

Alamak! Bagaimana ini?

"Sa..saya, saya, sa..saya gak ngerti, Pak."

aku mendadak gagu, ketakutan melihat wajah sangar Pak Nuriman.

RARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang