"Dan kamu, Rara, jangan ikut campur urusan orang dewasa. Kamu cukup urus suamimu itu, ngerti?" tandas Ayah dengan napas memburu, memandamg aku dan Bibi Tanuja secara bergantian."Rara bukannya ikut campur, Yah. Tapi Rara tidak mau Ibu kenapa-kenapa, Ibu itu belum terlalu sehat. Sedangkan Ayah datang dan menambah beban pikirannya. Berpikirlah dengan sedikit memakai perasaaan, Ayah."
"Halah, terserah!"
Ayah melongos masuk ke dalam, sedangkan aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegatnya masuk. Mau pakai kekerasan, ia Ayahku. Rasanya tidak etis jika aku melakukan itu, berkesan tidak hormat dan semena-mena pada Ayah. Hah, serba salah, deh.
"Pergi dari sini, aku tidak mau melihatmu, Mas! Pergi!" pekik Ibu sesaat setelah Ayah masuk ke dalam.
Gawat! Bagaimana kalau Ibu sampai depresi gara-gara Ayah ngotot menemuinya? Tidak, aku harus mencegah Ayah sebelum ia melontarkan omongan bulshitnya pada Ibu.
"Sarah, kamu jangan semena-mena begitu padaku, ya! Aku masih suamimu, dan kamu tidak pantas bicara seperti itu." ketus Ayah masih saja ngoyo ingin disebut suami oleh Ibu, padahal ia tahu kalau Ibu sudah melayangkan Surat Gugatan Cerai, yang satu dua hari ini keluar.
"Hahaha, suami katamu? Pengghianat sepertimu sangat tidak pantas menyandang status sebagai suamiku. Aku jijik padamu! Bagiku, kamu tidak lebih dari seonggok sampah busuk." ucap Ibu pelan, namun sangat menyakitkan bagi orang yang dituju, Ayah.
"Sarah, maafkan aku, Sarah. Aku khilaf, aku kalap. Maafkan aku, aku mohon padamu, Sarah. Tolong, cabut gugatan ceraimu. Aku janji, aku akan meninggalkan Delta dan berubah. Aku sangat mencintaimu, Sarah. aku tidak mau kehilangan kamu." Ayah meraih dan menggenggam tangan Ibu dengan erat, lalu menciuminya berkali-kali.
"Lepas, aku tidak sudi jika kulitku disentuh oleh pria menjijikkan sepertimu, Mas! Dan satu lagi, segigih apapun kamu memohon ampun, hatiku tidak akan goyah sama sekali. Penghianat tetaplah penghianat, dan aku sangat benci yang namanya penghianat. Pergi!" bentak Ibu sembari menampik tangan Ayah dengan kasar, Ibu tampak marah sekali. Aku saja ngeri melihatnya.
Kutatap Kak Rey dan Justin, sama sepertiku, mereka nampak geram dengan tingkah Ayah.
"Sarah, aku mohon maafkan aku. Aku, aku khilaf, Sarah!"
"Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Mas. Pergilah, dan jangan pernah menampakkan dirimu lagi. Mulai hari ini, ku anggap kamu telah mati."
"Sarah, jangan bicara seperti itu! Ingatlah masa-masa kita dulu, kita saling mencintai satu sama lain. Bahkan, kita jarang cekcok. Tapi kenapa semudah itu kamu melupakan masa-masa indah itu, Sarah?"
"Tutup mulutmu, Mas! Nyatanya, semua kenangan itu semu. Kamu berhianat, memilih jalan pintas dan memadu kasih dengan sekertarismu sendiri. Selama bertahun-tahun kamu berhianat, dan sekarang kamu menyuruhku agar mengingat kenangan kita? Ahahahah, lucu sekali, Mas. Sudahlah, Mas, aku tidak akan terpengaruh pada ucapanmu itu. Pergilah, dan jangan tampakkan batang hidungmu lagi. Kamu tahu sendiri 'kan, seperti apa aku? Aku tidak segan-segan menghancurkan hidupmu, jika kamu masih nekat!"
"Oke, baiklah! Jika itu maumu, aku turuti. Satu hal yang harus kamu ingat, rumah yang kamu tempati, dan semua aset atas namaku. Jadi, kamu tahu konsekuensinya jika kamu memutuskan untuk pisah denganku. Kamu bakal jatuh miskin!"
"Ahahahah, oh, ya? Terserah, Mas. Boleh aku mengatakan sesuatu? Kadangkala, apa yang kamu ucapkan adalah Doa untuk dirimu sendiri. Sekarang, pergi! Pergiii!"
"Oke, aku akan pergi. Sarah, kamu akan menyesal!"
"Aku tidak akan pernah menyesal. Hidup berdampingan denganmu, itulah penyesalanku!"
KAMU SEDANG MEMBACA
RARA
RomanceSINOPSIS: Sering menerima perlakuan tidak adil dari ibunya, membuat Rara tumbuh menjadi gadis tidak biasa. gadis cantik blasteran itu menjadi kebal rasa. Karena bandel, Rara sering mendapat teguran dari pihak sekolah perihal nilainya yang buruk dan...