Part 16

823 69 8
                                    

***
Sepulang dari tempat kerja Pak Bima, aku memutuskan untuk singgah sebentar ke Toko Kue. Aku ingin membeli beberapa boks kue nastar, sebagai teman ngemilku bareng Bi Tun siang nanti, sambil menonton Tv.

Baru saja aku menginjakkan kaki di depan Toko, ponselku berdering. Dengan cepat kurogoh saku celana jeans selutut yang aku kenakan, mengambil ponsel kemudian menggeser layarnya, mendapati panggilan masuk dari nomor yang tidak dikenal.

"Halo, dengan siapa?" sapaku seraya mendekatkan Ponsel ke telinga.

"Aku, Nadia. Maaf, aku mengganggu aktivitasmu. Boleh kita bertemu? Ada hal penting yang ingin aku bicarakan denganmu."

Wanita itu, mau apa lagi dia? Apa belum jelas penjelasan Pak Bima kemarin?

"Kak Nadia? Maaf, Rara sibuk. Kalau itu benar-benar penting, sampaikan lewat telpon saja." entah kenapa, aku tidak suka dengan Kak Nadia. Selain ia mantan pacar Pak Bima, aku juga bisa melihat kalau wanita itu ingin merebut kembali Pak Bima dariku.

"Ini tentang suamimu. Yakin kamu, gak mau dengar? Ntar nyesal."

Sial, kenapa Kak Nadia mengancamku dengan kalimat itu? Hafal juga ia dengan kelemahanku.

"Baiklah. Kapan?" tanyaku tanpa basa-basi, malas meladeninya.

"Sekarang juga. Aku tunggu kamu di Cafe Palma, aku sudah menuju kesana."

"Baiklah, otw." aku langsung mengakhiri panggilan.

Ah, apa lagi yang hendak dikatakan wanita itu? Mengingatnya saja, perasaanku mulai tidak enak. Tidak, aku harus berani, dan tidak boleh terlihat lemah di matanya.

***
Aku menatap Kak Nadia dengan lekat, sedangkan wanita itu nampak sangat santai sembari memainkan ponselnya.

"Rara, aku tahu, sekarang kamu itu istrinya Bima. Tapi bukan berarti kamu cintanya Bima, kan?" Kak Nadia tersenyum lebar, sengaja memanas-manasi aku.

"Maksud Kak Nadia, apa? Rara istri Pak Bima, dan sudah pasti ia mencintai Rara." aku benar-benar tidak habis pikir, kenapa Kak Nadia sampai bicara seperti itu. Aku tidak terima.

"Ahahaha, benarkah? Bukankah kalian dipaksa menikah? Rara, Rara, kamu masih terlalu kecil dalam urusan percintaan. Tahu apa kamu tentang cinta?" Kak Nadia tertawa kecil, seakan meremehkan kedudukanku sebagai istri Pak Bima.

"Maksud Kakak, apa? Kami saling mencintai!" bentakku kasar, kali ini aku benar-benar kesulitan menghalau emosi.

"Benarkah? Seorang Bima jatuh cinta pada bocah? Ahahahah, kamu itu terlalu polos, Rara. Aku tahu seperti apa tipe Bima, intinya bukan seperti kamu. Apalagi hanya seorang bocah."  ucap Kak Nadia semakin membuatku terpojok.

"Cukup! Sebenarnya maksud dan tujuan Kakak minta Rara kesini untuk apa? Katanya ada hal penting yang mau diomongin? Terus?"

Hah, lama-lama bibir Kak Nadia ku tonjok juga, ucapannya benar-benar bikin aku naik pitam.

"Gak, aku hanya ingin kamu tinggalkan Bima. Jangan buat ia tersiksa dengan kehadiranmu di rumahnya, kamu itu bukan istri yang diinginkan. Perlu kamu ketahui, Bima tidak benar-benar melupakanku."

Deg! Bukan istri yang diinginkan? Tidak benar-benar melupakannya?

"Apa maksud Kakak?"

Lama-lama aku risih juga dengan Kak Nadia, sangat terlihat jika ia ingin menghancurkan rumah tanggaku dan Pak Bima. Mungkinkah ia dendam?

"Kamu ingat kejadian kemarin, kan? Malamnya, Bima mengirimiku pesan, dan memintaku agar mengerti posisinya. Kalau kamu tidak percaya, silahkan baca sendiri chat kami."

RARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang