Aneh

2.4K 152 2
                                    

*Sudut Pandang Penulis*

Lee dan Daffa masih menunggu di Rumah sakit. Mereka semua seakan kehilangan semangat dan tanpa arah. Kehilangan orang yg dicintai adalah hal terberat dan sakitnya melebihi senjata apapun.

"Fa, kamu sudah mengabari ibunya ?". Ujar lelaki berambut coklat itu. Daffa harus memberitahukannya tapi Ia tidak sanggup. Berjalan saja dia tidak bisa.

"Kau punya nomornya ? Biar aku yg mengabarinya.". Lee tahu jika Daffa pasti memiliki nomor Ibunya Zani. Dia pasti tahu seluk beluk keluarga Zani. Daffa memberikan telepon genggamnya pada Lee.

"Aku pinjam sebentar ya". Dia  tersenyum ketika melihat tampila Lockscreen di telepon genggam milik Daffa. Itu foto Daffa dan Zani yang tengah berada di kontrakan.

Dia membuka kunci telepon tersebut dan langsung menuju kontak. Dia cari keseluruhan kontak itu tapi... Lee kan tidak tahu siapa nama Ibunya Zani.

"Hmm... Fa. Nama Ibunya Zani di kontak ini siapa ?". Ujar lelaki yang bernama asli Erwin ini.

"Rina Fadhilah". Lelaki super kekar itu bertutur pada Lee.

*Sudut Pandang Bang Lee*

Aku cari kontak dengan nama 'Rina Fadhilah' di kumpulan kontak ini.

BINGO !

Aku menemukan kontak itu. Aku tekan kontak itu untuk memanggilnya. Aku mengatur napasku agar terdengar seperti orang yang tidak sehabis menangis. Tak lama kemudian telepon diangkat oleh seseorang perempuan.

"Assalamualaikum. Siapa ini ?". Suara itu membuatku terpaku. Lee, kamu bisa.

"Waalaikumsalam, Bu. Ini apa benar Ibu merupakan Ibunda dari Hamzani Ramadhan ?".

"Iya, benar. Ada apa ya, Pak ? Bapak siapa ?".

"Saya Erwin, Bu. Saya temannya Zani. Zani ... Masuk Rumah Sakit, Bu.". Lidahku kaku untuk menjelaskan itu.

"Ya Allah... Dimana, Pak ? Anak saya sakit apa ?". Nada perempuan itu berubah panik.

"Zani... Meninggal dunia, Bu. Akibat kecelakaan kerja". Aku berusaha menahan tangisku agar tidak keluar kembali.

"Astahfirullah... Zani... Yasudah saya ke sana. Alamatnya, Pak ?". Ibu itu langsung menangis.

"Di Rumah Sakit XXX, di Waru, Sidoarjo, Bu. Ditunggu ya, Bu.".

"Hiksss... Baik, Pak. Hikss.. Terima kasih. Hiks... Hiks... Hikss...". Dia menutup teleponnya. Aku mengembalikan telepon itu ke Daffa. Aku bara sadar jika Daffa badannya berlumuran darah dan tidak menggunakan apa-apa selain celana pendeknya. Tiba-tiba dokter datang berlari menghampiri kami.

"Apakah Bapak-bapak merupakan keluarga Hamzani Ramadhan ?". Daffa hanya tertunduk tak menjawab apa-apa.

"Iya, Dok. Apakah jenazahnya sudah bisa dibawa pulang ?". Ucapku pada dokter itu.

"Zani kembali siuman dan sekarang ada di ruang perawatan.". Daffa dan Aku langsung terperanjak kaget. Wajah Daffa langsung penuh antusias mendengarnya.

"Dimana dia, Dokter ?". Ujar Daffa langsung berdiri.

"Dia ada di ruang Anggrek, No. 4. Saya juga bingung bagaimana bisa dia bertahan sementara seluruh rekannya yang berada di laboratorium itu telah wafat. Ini...".

"...Mukzizat dari Tuhan. Ayo, Fa kita ke sana". Ujarku memotong ucapan dokter itu.
Aku dan Daffa berlari antusias menuju ruangan yg dimaksud dokter itu. Terlihat dari Kaca, benar Ya Tuhan. Zani masih bernapas meskipun sedang tertidur dengan banyak alat bantu.

Could You Be Mine ? [DONE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang