Rumah Baru

1.7K 114 2
                                    

*Sudut Pandang Zani*

"Ih... Mamah kok pulang sih ? Kan aku baru aja sembuh.". Ujarku pada Ibuku yang hendak pulang kembali ke Indramayu.

"Lah, nanti yang jaga sawah sama empang siapa ? Dikit lagi kan mau panen, Sayang...". Ibuku mengelus rambutku dengan lembut. Sedih banget melihat Ibuku kembali lagi ke Indramayu. Padahal aku mau ajak dia jalan-jalan di sini.

"Yaudah... Mamah berangkat dulu ya.". Aku tersenyum kepadanya lalu dia mengecup keningku. Asal kalian tahu saja, aku sudah berada di parkiran rumah sakit ini bersama Mas Daffa, Ibuku, dan Pak Rafli.

"Daffa, aku titip Zani ya. Jaga dia.". Mas Daffa menyalami Ibuku dan memberikan pelukan untuknya. Beneran aku bisa melihat betapa kontrasnya badan Mas Daffa yang sangat besar dengan Ibuku yang kecil.

"Hati-hati ya, Mba. Aku suruh asistenku untuk antar Mba agar selamat sampai tujuan.". Mereka menyudahi pelukan yang singkat itu. Mas Daffa langsung menggandeng tangan kananku yang sudah sembuh. Aku saja sampai kaget karena dia menggandeng dengan tiba-tiba.

"Rafli, tolong antar Ibu Zani ke rumahnya. Siap ?". Ujar Mas Daffa tegas terhadap asistennya itu.

"Siap, Pak.". Pak Rafli memberikan hormat pada Mas Daffa dan membalasnya.

"Mari, Bu.". Dia mempersilahkan Ibuku untuk masuk ke dalam mobil milik Mas Daffa itu. Ibuku melambaikan tangannya pada kami bedua dan kami membalasnya dengan lambaian jua. Lambat laun, mobil itu pergi menjauh dari lokasi kami berdiri.

"Sayang...". Mas Daffa berlutut dihadapanku sehingga kepala kami sejajar. Di wajahnya sudah tumbuh kumis yang jenggot yang agak lebat. Aku memegangnya dan memainkannya.

"Nanti cukur ya, Sayang. Gelu tahu...". Aku tidak suka dicium dengan rambut kasar seperti itu. Rasanya geli. Makanya aku suruh Mas Daffa untuk mencukurnya.

"Boleh. Tapi kamu yang harus cukurin. Kalau orang lain, Mas gak mau.". Aku tertawa karena tuturannya yang manja di hadapanku. Ternyata aku salah menilai kekasihku ini. Awalnya, aku mengira dia benar-benar dingin, kejam, kasar, dan tidak berperasaan. Tapi sebaliknya, sekarang aku telah mengetahui sifat aslinya yang sangat penurut, penyayang, romantis, dan manja dihadapanku. Aku bahagia akhirnya bisa memiliki dia meskipun belum seutuhnya.

"Yuk kita pulang.". Ajak dia padaku. Kali ini dia tidak membawa motor lelaki yang tempat duduknya sedikit banget bagi pantatku yang lebar ini. Ya, dia kali ini membawa mobil lain. Apakah ini mobilnya ?

"Mas, ini mobil siapa ?". Langkahku terhenti di depan mobil Hummer. Aku memandang ke wajahnya yang sekarang mengukir senyuman padaku.

"Ini mobil, Mas. Ayo masuk.". Dia menarik tanganku masuk ke dalam mobil yang sering aku lihat di televisi ini. Sumpah aku terpana dengan mobil ini. Interiornya bagus sekali dan semua klasik.

"Wajahmu kenapa begitu, Sayang ?". Dia memegang daguku. Aku masih tak percaya dengan semua ini. Mobil yang dia pakai pada Pak Rafli saja sudah benar-benar mewah menurutku, apalagi ini.

"Mas, ini benar-benar mobil milik mas ? Ini kan mobil me-...".

"Kamu suka, Sayang ?". Potong dia dengan senyum yang tergurat di bibirnya.

"Iya, ini mobil punya mas. Kamu suka ?". Ujar dia sekali lagi.

"Suka sih, Mas. Tapi kenapa Mas beli mobil semahal ini ? Kenapa gak ditabung aja ?". Dia tertawa dan mulai mengendari mobil ini.

"Sayang... Mas bekerja di sana itu sudah bertahun-tahun. Dan mas juga sudah bertahun-tahun menjalani hidup sendiri. Jadi, mas tidak tahu untuk apa segala keuangan yang mas punya selain untuk memuaskan hasrat mas ini.". Hah ? Maksudnya ? Dia main sama pelacur gitu ?

Could You Be Mine ? [DONE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang