BAGIAN 60📌

924 106 31
                                    

_____

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

_____

Zina melihat Garlien yang sudah pergi dengan cara berlari, ia melihat Vano yang sedang memperhatikan Garlien, lagi dan lagi.

Setelah Garlien sudah tak terlihat, dia mendekati Vano yang sedang tertunduk. Dia berjalan dengan kaki yang sedikit pincang, akhirnya ia melihat Vano dengan tatapan kosong.

"Vano?" panggil Zina dengan nada khawatir yang sangat ketara.

"Vano," panggil Zina lagi sambil memegang pundak Vano supaya berbalik menghadapnya dan Vano terlihat sangat lemas hingga dia langsung menghadap ke arah Zina.

Dia benar-benar seperti boneka sekarang, menjadi sangat penurut dan tak memiliki hasrat apa pun.

Zina menangkup wajah Vano yang dari tadi hanya melihat ke bawah, dia sedih melihat Vano seperti ini, sungguh itu menyakitinya.

"Vano liat mata aku," perintah Zina sambil melihat wajah Vano.

Dengan lemas Vano melihat Zina yang terlihat habis menangis karena matanya merah, begitu pun dengan wajah dan hidungnya.

"Balikin hidup Vano," pinta Vano tulus dengan nada pelan.

Dan baru pertama kali Zina mendengar kalimat setulus itu dari Vano. Tapi kenapa harus Garlien yang dia inginkan? Zina muak mendengarnya.

Zina melepaskan tangan yang ada di wajah Vano. Kenapa Vano masih saja memikirkan Garlien? tak bisakah Vano memikirkan Zina walaupun hanya sebentar? apakah terlalu sulit? atau itu mustahil?

"Aku pacar kamu Vano," kata Zina sambil melihat Vano yang kembali menghadap ke bawah.

"Gue sayangnya Garlien," ujar Vano, tak bisakah Zina mengerti perasaannya? dia hampa tanpa Garlien, dia hancur, dia rapuh karena tak ada Garlien.

Zina tersentak mendengar penuturan Vano. Kenapa Vano bisa sejahat ini pada Zina? entah kenapa dia tambah membenci Garlien, dia sangat membencinya!

"Tapi kamu pacarnya aku," tutur Zina sambil memegang tangan Vano. "Aku pacar kamu, bukan Garlien," ujar Zina hingga dia terduduk di kaki Vano.

"Garlien dunianya Vano."

"Kenapa harus Garlien?" tanya Zina sambil melihat ke atas—melihat Vano. Dia bahkan segera mengalihkan pandangannya.

Apakah benar kata Garlien?

Dengerin gue. Lu bisa sentuh apa pun, tapi Vano nggak akan sentuh lu, jangankan sentuh, liat lu aja dia jijik! entah kenapa kata-kata Garlien terngiang di kepalanya. Kapan dirinya bahagia?

"Karena harus Garlien," jawab Vano atas pertanyaan Zina yang aneh menurutnya.

Zina berdiri lagi dengan penuh kekesalan. memberanikan diri untuk menghadap Vano, memberanikan diri untuk melihat Vano walaupun Vano tak melihatnya balik.

"Vano, bisa nggak kamu liat seberapa besar rasa suka aku ke kamu?" tanya Zina dengan mata berbinar, dia benar-benar berharap Vano mau menerimanya seutuhnya.

"Vano.cuma.suka.Garlien," jelas Vano dan semoga saja Zina mengerti. Semoga saja dia tidak memaksanya lagi, semoga saja.

Dan jawabannya masih tetap sama, jawabannya tetap saja Garlien, hanya Garlien dan cuma Garlien. Tak ada kah nama Zina?

Zina mengalihkan pandangannya, tangannya meremas rok miliknya. "Terserah! gue nggak peduli lu suka sama siapa. Intinya lu pacar gue! gue nggak peduli sama perasaan lu," ungkap Zina bodo amat dengan perasaan Vano.

Vano melihat Zina yang sedang membuka topengnya lagi, dia adalah Zina yang egois. Dia Zina, yang hanya memikirkan diri sendiri. Dia Zina, yang hanya mementingkan kebahagiaannya. Dan dia Zina, penjahat atas nama cinta.

Zina yang sadar Vano melihatnya pun segera mendekat ke arah Vano. "Kalo pun gue nggak punya jiwa lu," katanya sambil menunjuk dada Vano dengan jari telunjuknya. "Setidaknya gue punya raga lu," katanya sambil memeluk Vano tanpa aba-aba.

Vano tak membalasnya atau pun melepasnya, ia hanya membiarkannya. Sesungguhnya dia iba dengan Zina, tapi dia terlalu jahat untuk mendapatkan rasa iba dari Vano.

"Sorry gue egois," ujar Zina di pelukan Vano.

Vano mundur membuat Zina hampir saja terjatuh karena saat itu dia sedang ada di pelukan Vano. Setelah itu Vano berbalik dan berjalan menjauh.

Vano akan kembali ke rumahnya, sudah cukup dia berkenala, sudah cukup dia bekerja, sudah cukup! dia akan kembali ke rumah dan rumahnya adalah Garlien.

Zina melihat Vano berjalan menjauh. "Kamu mau kemana?" tanya Zina sambil ikut berjalan, ralat sambil ikut berlari. Langkah Vano yang panjang membuat Zina susah untuk mensejajarkan langkahnya.

"Garlien."

Zina akhirnya berhenti berjalan sedangkan Vano masih tetap berjalan dengan langkah lebar.

"Gimana dengan darah yang mengalir di tubuh Garlien?!" teriak Zina dan itu membuat Vano berhenti melangkah.

Vano menengok ke belakang melihat Zina yang sedang berdiri di sana. "Gue ganti," kata Vano kemudian kembali berjalan.

Zina yang melihat Vano kembali berjalan segera menghampirinya, dia berlari untuk mengejar Vano. Kemudian setelah sampai di samping Vano ia memegang lengan Vano supaya dia berhenti berjalan.

"GAK MAU! aku maunya kamu yang jadi gantinya!" kata Zina tak memiliki rasa malu.

"Darah diganti darah," ujar Vano sambil menggerakan lengannya supaya tangan Zina lepas dari lengan miliknya. Dan itu berhasil, tangannya sudah tak ada di lengannya.

"NGGAK!! gue nggak mau! gue maunya lo! cuma lo!" ucap Zina memaksakan kehendak, dia terus saja kekeuh berada di samping Vano walaupun sambil berlari.

" ... "

Vano tak merespon ucapan Zina, sepertinya semua kata-katanya sudah jelas untuk di ungkapkan. Dia sendiri yang membuatnya semakin bertambah rumit.

Zina yang tak mendengar suara Vano langsung menghentikan larinya. Dia capek terus mengejar Vano, dia memegang kedua lututunya yang kelelahan. Ia mengatur nafasnya dan jantungnya yang dari tadi tak stabil.

Kemudian dia melihat ke depan dan Vano masih saja berjalan dengan langkah yang sama. Dan itu membuat Zina semakin kesal, dia tak mau kehilangan Vano.

"KALO KAMU MAJU SATU LANGKAH LAGI ... GU-GUE BUNUH DIRI!!" teriak Zina mencoba untuk menyakinkan Vano. Walaupun dirinya sendiri juga tidak yakin akan melakukan apa yang dia katakan.

Saat mendengar kalimat Zina Vano terdiam, dia berhenti melangkah. Saat Zina selesai berbicara dia kembali berjalan, dia sudah tidak memperdulikannya. Dia ingin Garlien untuk saat ini hingga saat nanti.

"Vano gue nggak bohong! gue bakalan bunuh diri sekarang juga!" teriak Zina frustasi, urat di lehernya bahkan sampai kelihatan.

"Vano!"

"VANO!!"

"VANOO!!!"

Dan akhirnya kakinya melemas, kakinya tak sanggup menahan badannya agar tetap berdiri—air matanya tumpah dengan seketika.

Dia menangis di sana, tanpa mengenal tempat. Ia benar-benar menumpahkan segala amarahnya, tak peduli jika ada orang yang melihatnya.

Kadang dia mengumpati Garlien, kadang juga teriak-teriak menyebut nama Vano. Dia rapuh karena ulahnya sendiri.

Hingga Zina merasakan ada yang berjalan mendekat ke arahnya, kemudian dia berjongkok melihat keadaan Zina.

"Gimana? berhasil?" tanya seseorang, Zina menangkat kepalanya ke atas, melihat siapa yang mengajaknya berbicara.



Garlievano | I✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang