BAB 10

543 89 1
                                    

Happy reading 💜
.
.
.

Bau rumah sakit tetap menjadi rumah untuk gadis itu pulang. Dengan penuh kesabaran, ia membersihkan telapak tangan neneknya yang tertidur pulas yang baru saja makan siang. Rasanya Wendy sangat rindu dengan canda tawa dan nasehat neneknya.

"Wendy-ya." Seseorang membuka tirai yang membatasi pasien yang satu dengan yang lain.

"Oh nee, sajangnim. Tumben sekali anda datang menjenguk nenek." Wendy membungkuk sedikit sebagai tanda hormat.

"Iya, sudah sangat lama sekali. Tapi Wendy, aku ke sini ingin berbicara denganmu." Ucap Kijeong. Wendy yang mendengar itu langsung berpikir apa yang akan dikatakan sajangnim-nya itu kepadanya.

Setelah menyuruh salah satu suster untuk menjaga neneknya, Wendy dan Kijeong kini berjalan menuju café milik rumah sakit. Duduk saling berhadapan. Rasanya Kijeong ingin memberitahukan sesuatu yang serius.

"Ada apa, sajangnim?" Wendy bertanya.

"Apa kau tidak ingin bekerja yang lain selain bernyanyi?" Tanya Kijeong dengan sangat hati-hati.

"Kau tahu aku sangat suka bernyanyi, sajangnim. Kenapa anda bertanya seperti itu?" Wendy sedikit meninggikan suaranya. Ia bingung kenapa atasannya itu bertanya demikian.

"Kuharap kau menemukan pekerjaan yang lebih bagus, Wendy." Ucap Kijeong.

"Sebenarnya apa yang ingin anda katakan?" Wendy sudah tidak tahan lagi.

"Aku dan keluargaku ingin pindah ke Busan." Beberapa kata itu sukses membuat Wendy terdiam.

"Dan, aku akan menutup café itu." Wendy jelas terdiam. Ia tahu bagaimana sulitnya mencari pekerjaan di Seoul. Hanya bermodal suara bagus saja tidak akan membuatnya semudah itu diterima.

"Wendy-ya. Maafkan aku." Ucapan Kijeong sukses membuat Wendy menunduk.

"Tidak apa-apa, sajangnim."

"Aku dengar kau punya sahabat di BlueSky. Mungkin, kau bisa melamar pekerjaan di sana, kau juga punya gelar sarjana manajemen, kan?" Kijeong memberi saran. Wendy hanya mengangguk. Jika saja Chanyeol tidak ada di sana, sudah jelas ia akan bekerja di sana.

"Aku akan memikirkannya lagi, sajangnim."

"Kalau begitu saya permisi dulu. Hati-hati di Busan, paman." Wendy berlalu dari café itu. Panggilan 'paman' dari Wendy membuat hati Kijeong menghangat juga merasa kasihan, sebab ia harus bertaruh nyawa untuk menghidupi dirinya sendiri dan orang lain.

***

Setelah tahu bahwa pekerjaannya hilang, Wendy langsung kembali ke apartemennya. Apartemen yang ia bayar dengan gaji dari pekerjaannya menjadi penyanyi di café Kijeong. Entah kenapa ini rasanya sangat sulit sekali. Bagaimana tidak, ia tidak tahu harus bekerja di mana dan sebagai apa.

Wendy langsung terduduk di depan pintu kamarnya. Meratapi nasibnya yang seperti ini. Ia meraih handphonenya dari tas, lalu mencari nomer telepon yang selalu ia hubungi kala situasi seperti ini.

Jung Jimin.

"Ada apa kau meneleponku malam-malam begini, Nona Ahn?" Jimin akhirnya berbicara.

"Apa kau sibuk?" Tanya Wendy dengan suara parau.

"Apa kau menangis?" Jimin mulai merasakan ada yang aneh dengan Wendy.

"Jawab dulu pertanyaanku."

"Iya, aku sangat sibuk." Jawab Jimin.

"Apa salah satunya sibuk untuk membuat Seulgi juga mencintaimu?" Wendy jadi tersenyum karena hal ini.

"Aku akan menutup teleponnya jika kau berkata seperti itu lagi." Ucap Jimin yang kesal. Ia bahkan tidak pernah bertemu dengan Seulgi lagi, sudah hamper lama sekali sejak kejadian memalukan itu.

"Apa aku boleh bekerja di BlueSky?" Air mata Wendy jatuh lagi, terdengar suaranya sangat parau.

"Wendy-ya. Ada apa?" Tanya Jimin, ia sampai menghentikan aktivitas kerjanya.

Hanya suara tangis Wendy yang terdengar. Ia malu pada dirinya sendiri, ia tak tahu lagi harus bagaimana menghidupi dirinya sendiri.

"Wendy-­ya." Panggil Jimin namun dengan lembut.

"Jika situasi sedang baik-baik saja, pasti aku akan sangat menyemangatimu untuk bekerja di sini. Tapi, aku tidak ingin kau bertemu lagi dengan pria sialan itu." Ucap Jimin.

"Wendy-ya. Dengar aku."

"Aku tidak akan memaksamu untuk bekerja di sini atau tidak. Itu pilihanmu. Aku akan membantumu untuk masuk." Ucap Jimin.

Wendy masih larut dalam kebimbangannya. Jelas, ia tak mau terjatuh lagi atau bahkan melihat Chanyeol lagi, sebab itu yang membuat hatinya mengernyit.

Ia menangis karena ada sebab yang harus ia sembunyikan dari dunia. Ia hanya menampungnya sendiri di ruang dalam dirinya yang tak akan pernah bisa dilihat oleh orang lain.

"Jimin-ah." Panggil Wendy dengan parau.

"Bicaralah." Ucap Jimin di sana.

Ia menimbang-nimbang keputusan apa yang akan ia ambil. Iya atau Tidak. Semuanya berputar dikepalanya, sampai ia harus berkata;

"Bisakah kau membantuku untuk bekerja di sana?"

UNTOLD [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang