Jantung berdebar kencang. Tangan bergerak. Kaki berjalan kaku. Wajah pucat dengan keringat dingin yang tak nampak. Hanya karena perasaannya, sebuah perjalanannya bertemu CEO terasa menyeramkan.
Kira-kira apa saja yang sudah Hwang Li adukan. Jika saja Hwang Li tidak gegabah menceritakan kejadian kemarin pada CEO-nya, mungkin dia tidak akan setakut ini menemui CEO agensinya yang sudah seperti appa pengganti.
Ketika tangan Jira mengetuk pintu besar tersebut, darah Jira berdesir naik ke kepala. Dirinya semakin ketakutan. Knop pintu yang dia pegang jadi lebih dingin. Mana Hwang Li tidak ikut menemaninya, kan Jira jadi menghadapi masalah ini sendiri. Bagaimana jika dirinya tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan CEO dengan baik? Jira jadi ingin mengomeli Hwang Li.
Saat ini sahabatnya pasti sedang duduk di sofa empuk tepat berada di ruang tunggu dekat reseptionis. Memesan sebuah minum untuk menemaninya dengan laptop yang memperlihatkan variety show Running Man kesukaannya. Jira sangat yakin akan itu. Walaupun Hwang Li bersikeras mengatakan dia akan menyusun jadwalnya, Jira sangat yakin setengah kegiatannya digunakan untuk menghibur diri.
"Masuklah, Jiyoon-ssi."
Jira menghembuskan napasnya terlebih dahulu, sebelum meyakinkan dirinya untuk melangkah maju. Siap tidak siap, dia tentu dipaksa menghadap petingginya. "Annyeonghaseyo, sajangnim." Hormat Jira dihadapan CEO Choi.
"Duduklah." Perintahnya tanpa mengalihkan matanya sedikit pun dari depan laptop. Apa yang dilihat direkturnya sampai seserius itu? Apakah kemungkinan terburuk tentangnya? Jira jadi tidak bisa berpikir positif.
"Manajermu sudah mengatakan kejadian saat di stasiun radio kemarin." CEO mulai membuka suara. Dia menggunakan gaya bahasa yang tidak terlalu formal jika hanya bersamanya. Karena pada dasarnya CEO Choi dengan appa-nya sudah berteman lama. Alasan dia bisa ada diagensi ini pun, karena kepercayaan appa-nya pada CEO Choi untuk menjaganya.
Jika dilihat dari posisi para trainer, mungkin banyak yang iri dengannya. Tapi Jira tidak mau dirinya dianggap menggunakan kekuasaan appa untuk menjadi populer. Jadi sebelum dirinya debut, dia juga memutuskan untuk menjadi trainer. Meskipun pada akhirnya, masa training dia lebih cepat dari orang-orang pada umumnya.
Jira jadi merasa tidak adil pada mereka yang sudah bekerja keras, namun sampai sekarang belum bisa muncul di layar TV. Sedangkan dirinya? Jira sungguh tidak mau merasakan penyesalan ini. Jika dia ingin pun, dia tidak mau diperlakukan istimewa. Sejak dulu dia juga tidak mau dianggap sebagai anak dari seorang produser ternama. Itu membuatnya tertekan.
"Apa kau kenal dengan orang yang mengajakmu bicara itu? Dia pastinya bukan sasaeng karena kau masih mau mengikuti keinginannya untuk bicara." Kata CEO Choi. Sangat tepat. Mau tidak mau, dia juga harus mengungkapkannya.
"Dia sepupuku. Sifatnya emang sedikit kurang ajar."
"Siapa namanya?" Tanya CEO Choi. Tidak menunggu Jira mengatakan hal lainnya.
"Kang Taeji." Jawab Jira dengan kaku. Lalu tangan CEO memutarkan layar komputernya 90 derajat ke arahnya. Menunjukkan profil seorang pria dengan nama yang sama dengan yang disebutkannya tadi. "Apa ini orangnya?"
Jira mengangguk kaku. Bagaimana profil Taeji ada di agensi ini? Apa sebelumnya dia pernah ikut audisi di sini? Jira sendiri tidak tau akan hal itu. Mempermalukan dirinya saja.
"Kau harus hati-hati dengannya. Jika dia termasuk keluargamu, tolong jangan percaya seluruh ucapannya."
"Wae?" Jira tidak mengerti kenapa CEO-nya berkata demikian. Bukankah dia tidak pernah bertemu langsung dengan para calon trainer? Hanya berupa data tertulis begini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melody
FanfictionBook 2 Lanjutan dari Partiture Dulu hobi ku bukan bermusik, tapi sekarang aku berkutat dengan alat musik. Tidak pernah terlintas dipikiranku ingin menjadi penyanyi, tapi aku telah menjadi bagian dari dunia para musisi. Tidak ku sangka, hidupku berub...