30. Cemburu

178 19 2
                                    

Sesak.

Itulah yang pertama kali Jira rasakan saat dirinya baru saja tersadar dalam tidurnya. Dia mencoba untuk membalikkan badan, tapi tetap saja rasa sesak itu ada. Hidungkan seakan tertekan dan menghambat udara masuk menuju paru-parunya.

Jira tidak bisa bernafas lagi.

Dia membangunkan diri dengan tubuh yang masih tidak seimbang. Mengerjapkan matanya beberapa kali sampai pengelihatannya bisa digunakan dengan baik. Melihat sekeliling ruangan yang terasa familiar.

Dadanya sudah tidak terasa sesak lagi. Hidung masih berfungsi dengan baik. Apa tadi dia hanya bermimpi? Jira menggaruk kepalanya sendiri yang tidak gatal.

"Anak gadis bangun lebih lambat dari kekasihnya." Sontak Jira menegok ke belakang menuju sumber suara. Terlihat tubuh Jihoon yang duduk di kursi dekat kasurnya.

Jira masih memproses kesadarannya. Keningnya mengerut melihat Jihoon. Tapi tanpa izin terlebih dahulu, Jihoon menjepit hidung Jira kembali. Menariknya pelan, namun dapat dipastikan sudah memberi bekas merah.

Jadi ini sumber kesesakannya tadi?!

Jira menyentuh tangan Jihoon. Memukulnya pelan agar pria itu mau melepaskan jepitannya. "Jihoon-ah!!" Protes Jira dengan suara serak khas bangun tidur.

Setelah menarik tanganya kembali, Jihoon hanya tertawa ringan sambil melihat Jira yang menyentuh hidungnya sendiri. Karena Jihoon hidungku jadi tidak enak. Menyebalkan. Kesal Jira.

Belum ada kata maaf yang keluar dari bibir Jihoon. Namun dia memberikan sebuah gelas penuh dengan air yang ada di nakas pada Jira. Suasana di antara mereka masih sunyi tanpa sepatah kata pun.

Jira meminum airnya pelan-pelan. Mengalihkan mata dari Jihoon yang terus melihat kegiatan minumnya ini. Menunggu Jihoon bicara setidaknya satu kata untuk memecah keheningan ini. Tapi pria itu tetap pada posisi mematung tanpa satu huruf keluar dari bibirnya. Padahal Jira masih menunggu kata maaf atas hidung merahnya saat ini.

"Kok diam?" Akhirnya Jira menyerah menunggu Jihoon untuk bicara.

"Kau juga diam."

"Aku nunggu kata maaf darimu." Ujar Jira asal. Dia tidak ada niatan memaksa ucapan maaf sama sekali. Jihoon jahil? Rasanya sudah biasa untuknya.

"Mian."

"Hanya itu." Kata Jira. Merasa tidak terima. Jadi ada sedikit kejengkelan.

"Terus mau apa lagi?" Jihoon masih membalasnya dengan kalimat singkat.

Jira kembali menyerah. Dia menghembuskan napas pendek untuk menenangkan diri. Ya, sifat Jihoon yang seperti ini memang sudah biasa. Sabar..

"Dari kapan di kamarku?" Tanya Jira. Pertanyaan yang sangat kaku. Dia memang tidak ahli mencari topik pembicaraan.

"Semalaman."

"Kau tidur di sini lagi??" Tanya Jira sedikit meninggikan suaranya. Pipinya sontak memanas membayangkan dirinya yang kembali tidur satu ranjang dengan Jihoon. Tanpa sadar, Jira mengetuk kepalanya yang berpikiran macam-macam. Membuat Jihoon kembali tertawa puas.

"Ani. Aku tidur di kursi ini." Ucapan Jihoon berhasil melegakan dadanya. Habis dibuat sesak, sekarang dibuat berpacu. Ini mengalahkan jogging pagi.

"Kenapa tidak tidur di kamar tamu? Kan pegal tidur sambil duduk." Meski kekesalan itu masih ada, Jira tetap tidak bisa marah lama-lama. Pantas saja dia bangun pagi, tidurnya tidak mungkin nyenyak dengan posisi itu.

"Aku ingin tertidur dengan melihat wajahmu dan terbangun dengan pemandangan yang sama."

Blush

MelodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang