50. Melamar

190 23 8
                                    

"Aku boleh tanya sesuatu?" Jira membuka suara pada perjalanan yang sunyi itu. Jihoon mengiyakannya dengan sebuah deheman. Entah darimana Jira mengerti deheman 'hm' bisa diartikan iya.

"Kemarin kanapa kau cemburu?"

"Aku tidak cemburu. Kan sudah ku katakan aku tidak marah dan cemburu." Elaknya.

Jira menatap tajam. "Aku ingat kau mengatakan sedikit cemburu."

"Masa?" Tatapan Jira kian menajam setiap kali Jihoon mengelek. "Kenapa tatapanmu jadi lebih menyeramkan daripadaku?"

Sontak Jira tertawa dengan celetukkan Jihoon. Jihoon sendiri tersenyum mendengarnya. "Baiklah. Aku mengaku. Aku memang cemburu."

"Wae? Mereka kan teman-temanmu. Katanya kalian sudah seperti keluarga. Harusnya sudah saling percaya." Bawel Jira. Jihoon tersenyum-senyum sendiri mendengar kekasihnya yang bisa sebawel itu. Ingatannya yang dikunci membuat Jihoon bisa melihat sisi lain dari Jira.

Namun dia khawatir. Jihoon sudah menceritakan semua kisah mereka dari awal sampai akhir dengan lengkap, tapi Jira tidak menunjukkan tanda-tanda ingatannya kembali. Dokter berkata, penguncian memori Jira tidak akan permanen. Apa benar Jira tidak ingin mengingat masa lalunya?

Tiba-tiba Jira mencubit pipi Jihoon. Membuat mata Jihoon teralihkan dari kegiatan berkendaranya untuk menatap gadis itu. Hanya sesaat. Jika lama-lama melihat Jira, matanya suka lupa diri.

"Kok diam?" Tagihnya.

Jihoon kembali tertawa sebelum berkata, "Aku percaya mereka tidak akan merebutmu. Tapi bukan itu alasanku cemburu. Aku hanya iri karena mereka bisa dekat dan cepat akrab denganmu. Sedangkan aku? Untuk mencari topik denganmu saja, aku butuh waktu berpikir."

Tangan Jira terangkat. Mengarahkannya menuju pipi Jihoon dan segera mencubitnya kembali. "Menggemaskannya kekasihku ini."

Jihoon menampakkan wajah terkejut. Meski tidak suka skinship, Jihoon menutupinya dengan sempurna. Tangan halus Jira, selalu berhasil membuat jantungnya berdebar kencang. Khusus untuk Jira, ketidaksukaannya pada skinship kerap hilang tanpa sebab.

"Walaupun terlihat dingin dan cuek begini, ternyata kekasihku sangat perhatian dan protektif." Jihoon sudah bisa merasakan perubahan suhu wajahnya. Jira yang baru, terlalu jujur. Aku belum terbiasa. Batin Jihoon.

Kringg..

Jihoon bernapas lega saat Jira menurunkan tangannya dan terfokus pada bunyi ponsel Jihoon. Dalam diam, Jihoon mempercepat deru napasnya. Membiarkan suara dering telepon itu memenuhi seisi mobil. Jira melihat ponsel Jihoon dan berkata, "Tidak diangkat?"

"Dari siapa?" Singkat Jihoon. Menormalkan suaranya yang terdengar aneh karena debaran itu.

"Bumzu hyung." Ejanya. Jihoon meminta Jira mengangkatnya dan menekan loadspeaker. Lagi-lagi Jihoon berdehem sebagai hallo dalam sambungan telepon. Kapan-kapan Jira harus mengajarkan kata 'yeobbosaeyo' pada pria itu.

"Di mana kau? Katanya mau menunjukkan lagu yang baru kau buat kemarin?"

"Aku lagi di jalan. Nanti saat sampai, aku akan tunjukkan." Jawab Jihoon. Masih fokus meski sedang menyetir. Jira hanya duduk manis mendengarkan mereka bicara.

"Kau dengan kekasihmu itu ya? Ku dengar dia tinggal dengan kalian sekarang? Siapa namanya? Jira bukan? Lee Jira." Jihoon menggertakkan gigi. Tangannya terkepal kuat pada stir mobil.

"Yoon Jira, hyung." Betulkan Jihoon dengan suara kecil.

"Lee Jira juga tidak apa-apa. Kau seriuskan dengannya? Membermu mengatakan semuanya." Pertanyaan Bumzu mendiamkan dua insan dalam mobil tersebut.

MelodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang