47. Hadiah

161 19 2
                                    

"Kenapa banyak barang?"

Soonyoung berseru menemukan Jira di belakangnya. "Iya, eomma memberikannya pada kami untuk persediaan di dorm. Kau baru bangun tidur ya?"

"Dorm? Kalian sudah mau pulang?" Raut sedih Jira terlihat.

"Harusnya kita sudah pulang semalam, tapi Woozi bilang masih belum selesai bicara denganmu. Jadi kita tunda sampai pagi ini." Soonyoung melirik jam yang melingkar di tangannya. "Jam 9 nanti kita juga ada jadwal. Makanya sekarang sudah bersiap-siap pulang. Woozi belum mengatakannya padamu?"

Soonyoung mengangkat kepalanya. Menggerakkan matanya ke seluruh ruangan mencari seseorang yang tadi bicara dengannya. Meski berputar hingga 360 derajat, Soonyoung tidak menemukannya. "Tadi aku bicara dengan Jira kan?"

"Cari siapa?" Tanya seorang wanita lainnya.

"Jira. Tadi sepertinya aku bicara dengannya." Jawab Soonyoung pada Hwang Li.

"Jira baru keluar meluk Woozi. Karena takut mengganggu, jadi aku menghampirimu." Kata Hwang Li.

"Jadi begitu. Memangnya aku pria sampingan? Kalau yang satu lagi sibuk, aku dijadikan penggantinya. Sorry. Jauh-jauh sana." Ucap Soonyoung. Hwang Li tertawa dan segera memeluk pria itu.

"Cemburu ya? Akhirnya seorang Kwon Hoshi bisa cemburu padaku. Harus dirayakan ini." Semangat Hwang Li.

"Siapa yang bilang? Ini apa peluk-peluk? Tidak terima hasutan atau godaan." Walau begitu, Soonyoung sama sekali tidak menepis dan melepaskan tangan Hwang Li.

"Kalau disayang?" Soonyoung terlihat menimbang-nimbang. Berpikir sambil sesekali melihat Hwang Li yang menatapnya.

Dia tersenyum, "Cium pipi saja."

Tidak butuh waktu lama untuk Hwang Li menghadiahkannya. "Kalau tau cepat begitu, aku minta di bibir saja."

"Mau?" Tawar Hwang Li.

"Boleh?"

"Ani!" Kaburnya.

Di saat Soonyoung dan Hwang Li meributkan hal tersebut, Jihoon dan Jira masih pada posisinya. Diam dan kaku.

Jihoon tidak bisa merasakan tubuhnya. Detak jantung yang di luar kata normal, membuat dirinya tidak dapat menggerakan setiap sendi dan hanya bisa membuat matanya menatap ke arah bawah. Tepat pada dua tangan yang melingkar di pinggangnya. Aigoo! Ini masih terlalu pagi untuk olahraga jantung. Batin Jihoon resah.

Tangannya terlihat bergetar saat coba diangkat. Jihoon malu sendiri melihat dirinya yang bergetar hanya karena pelukan kekasihnya sendiri. Hangat. Tapi jadi terasa menegangkan. Jira jarang sekali memeluknya. Jarang karena tuntutan profesi dan juga jadi kebiasaan. Jihoon seakan menularkan virus tidak suka skinship.

"Ji-jira.." Tanpa sadar, suara Jihoon ikut bergetar. Dia semakin malu.

"Kenapa tidak bilang kalau mau pulang hari ini juga? Kita baru saja terbiasa dengan kehadiran masing-masing. Jika tidak ada dirimu, bagaimana aku bisa mengingat semuanya? Hanya kau yang tau tentang diriku." Jira kian mengeratkan pelukannya. Jantung Jihoon makin tidak karuan. Pagi dingin di daerah yang hijau ini jadi sangat panas.

"Se-sebelum aku jawab, bisa lepaskan dulu. Tidak nyaman jika kita bicara dengan aku membelakangimu." Jira menurut. Tangannya terlepas dan Jihoon dapat bernapas lega untuk beberapa detik.

Ketika dia berbalik, Jira kembali melingkarkan tangannya dan memendamkan wajahnya kembali pada tubuh Jihoon. Menempelkan telinganya tepat di dada Jihoon. Habis riwayatku. Umpat Jihoon. Meski dicoba berkali-kali, jantungnya tetap menari.

MelodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang