"Noona, annyeong." Sapaan Seungkwan menyambut pagi Jira yang baru keluar dari kamar.
Dengan mengucek matanya, Jira membalas sapaan itu. "Seungkwan-ah, annyeong."
Pria itu merespon heboh dirinya yang bisa menyebutkan namanya tanpa berpikir terlebih dahulu. Jira sontak tertawa ringan. Padahal hanya menyebutkan nama. Lucu sekali. Batin Jira.
Jira menerima segelas air yang diserahkan Seungkwan. Dia mengucapkan rasa terima kasih dengan mata tertarik pada beberapa buket bunga yang ada di meja dapur. "Itu punya siapa?"
"Yang pesan Woozi hyung. Mungkin untuk noona." Jawab Seungkwan. Lalu menegak vitamin yang ada di tangannya.
Jira melihat rangkaian buket bunga itu. "Tapi ini ada tiga?"
Seungkwan menaikkan bahunya. "Entahlah. Mungkin untuk noona semua atau sisanya untuk orang lain."
Balasan Seungkwan yang tidak pasti itu membuat Jira berpikir macam-macam. Tiba-tiba kesal dan terasa ingin marah. Siapa yang bisa menutup kemungkinan itu? Selama dia dan Jihoon terpisah, bisa saja ada orang lain.
"Tapi noona tenang saja. Woozi hyung tidak mungkin punya wanita lain. Yang Woozi hyung pikirkan itu hanya tiga. Kerja, keluarga, dan noona."
Erangan seseorang dengan tubuh mungilnya muncul di hadapan mereka. "Pantas aku terbangun. Kalian membicarakanku." Balas Jihoon sambil mengambil air untuk ditegaknya.
"Buketnya sudah datang? Padahal masih pagi."
"Jadi benar kau yang membelinya? Kenapa banyak sekali?" Tanya Jira dengan rasa penasaran besar. Sekaligus sedikit kecemburuan.
Jihoon mengangguk. Meletakkan gelasnya untuk mengambil tiga buket bunga itu sekaligus. Sebisa mungkin Jira menutupi rasa kesalnya melihat Jihoon yang masih santai memandangi karangan bunga itu.
"Yang bunga warna putih ini, satu untuk appa-mu dan satu lagi untuk eomma-mu." Sembari bicara, Jihoon menyejajarkan buket tersebut.
"Lalu yang warna-warni ini untuk anaknya." Dan yang terakhir diserahkan pada Jira.
"Masih pagi, jangan pikirkan yang macam-macam." Dicubitnya pipi Jira sebelum berlalu menuju kamarnya sendiri.
☆☆☆
Masih diam. Jira bingung bagaimaa harus menutupi rasa malunya setelah ketahuan memendam cemburu pada pria yang saat ini sedang ada di sampingnya. Fokus menyetir mobil dengan mata malas yang lurus ke depan.
Hanya berani melirik diam-diam. Tangan Jira cukup bergerak memainkan kelopak bunga yang ada di pelukannya untuk memanipulasi gerakan mata. Setiap kali Jihoon menghembuskan napas panjang, Jira mengalihkan sesaat matanya, lalu kembali melirik pria itu. Tidak tau ke mana pria itu membawanya, Jira seakan hanya tertarik mengetahui isi pikiran dari ekspresinya yang datar dengan napas yang terus terhembus sejak tadi.
Merasa suasana terlalu tenang, Jihoon menyalakan radio mobil. Itu sukses membuat Jira tersentak karena terkejut melihat kepala Jihoon yang tergerak hampir melihatnya. Aku kira akan tertangkap basah lagi. Batin Jira.
"Padahal aku sudah menahannya sejak tadi, tapi kau sama sekali tidak memberikan pilihan lain padaku."
Jira tidak mengerti. Saat dirinya benar-benar menatap langsung mata Jihoon, pria itu menghadiahinya cubitan pipi. Tidak hanya cubit, bahkan Jihoon menariknya cukup kuat hingga pipi Jira berubah warna dan meringis.
"Waee??" Rengek Jira. Dia memukul pelan tangan Jihoon yang masih mencubitnya. Padahal pria itu sedang menyetir. Musik lembut keluar dari radio itu, sama sekali tidak sesuai dengan kondisinya saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melody
FanfictionBook 2 Lanjutan dari Partiture Dulu hobi ku bukan bermusik, tapi sekarang aku berkutat dengan alat musik. Tidak pernah terlintas dipikiranku ingin menjadi penyanyi, tapi aku telah menjadi bagian dari dunia para musisi. Tidak ku sangka, hidupku berub...