Bunyi kunci saling beradu memenuhi telinganya. Setelah kunci itu dimasukkan pada lubang pintu, Jihoon memutar dan membuka pintu tersebut. Terdengar suara decitan dari engsel pintu tersebut. Aku harus memberi beberapa pelumas sebelum membawa Jira kembali. Batin Jihoon.
Menutup pintu itu lagi dan melihat seisi rumah besar yang sudah kosong selama beberapa bulan lalu. Debu mulai menutupi beberapa hiasan ruangan di sana. Jihoon belum sempat mencari pekerja rumah tangga tetap untuk membersihkan rumah ini. Dia juga belum menemukan satpam yang sebelumnya menjadi orang kepercayaan appa Jira.
Jika dia sudah menyiapkan semua itu, Jihoon baru akan membawa Jira kembali ke sini. Daripada dia tinggal di apartemen dengan bodyguard itu. Meskipun tidak hanya bertiga, tapi jarak kamar mereka sebelah-sebelahan. Jihoon tidak senang mengetahui kebenaran itu.
"Huh!"
Jihoon tidak bisa menutupi kecemburuannya kali ini. Jira memang seorang idol. Dekat dengan pria manapun termasuk fans pria, bukanlah tidak mungkin. Begitu juga dirinya. Jihoon tidak pernah mempermasalahkan itu. Tapi jika pria itu bisa setiap saat bersama kekasihnya, bagaimana dirinya tidak cemburu?
Dia yang kekasih sah-nya saja sulit. Secara tidak langsung, Jihoon sebenarnya iri dengan bodyguard itu. Dia jadi ingin bertukar posisi saja sekarang, walaupun tubuhnya tidak memenuhi syarat sebagai security sekali pun.
Jihoon berkeliling tanpa tujuan di kediaman Yoon. Dari ruang tengah, kamar Jira, kamar appa Jira dan sekarang dirinya berhenti di depan pintu ruangan yang jarang Jira masuki. Dan sekarang, mungkin saja Jira tidak akan mau masuk ke ruangan ini. Gadis itu bisa menangis jika masuk ke dalam ruangan yang penuh dengan kerja keras appa-nya.
Dari gantungan penuh kunci rumah yang tadi dia gunakan untuk membuka pintu rumah, Jihoon mencoba mencari kunci yang cocok dengan ruangan tersebut. Pria itu terus mencari yang tepat sampai pintu itu berbunyi menandakan sudah terbuka.
Decitan pintu itu berbunyi lebih kencang dari pintu-pintu lainnya. Memberikan sambutan dari aroma debu saat Jihoon melangkah masuk. Ruangan yang tertata rapih dengan buku-buku dan sebuah instrumental keyboard di dekat jendela yang masih pada posisinya.
"Annyeonghaseyo, appa." Bungkuk Jihoon. Menghadap kursi seakan dirinya sedang berhadapan dengan appa Jira. Jika dia bertemu dengan appa Jira di ruangan ini, panggilannya bukan lagi tuan Yoon, melainkan 'Appa'. Appa Jira sendiri yang memintanya.
Jihoon sendiri menganggapnya sebagai penghargaan. Selain karena dirinya menjadi tangan kanannya, appa Jira juga tidak menganggapnya sebagai anak. Bahkan sudah dianggap menantu juga.
Senyum Jihoon mengembang sendiri membayangkan hal tersebut. Sayangnya, pria tersebut tidak benar-benar bisa menyebutnya sebagai menantu sesungguhnya di depan banyak orang. Bahkan Jira saja tidak tau jika antara dia dengan appa-nya, sudah saling menyebut ayah dan anak.
"Appa, Jira sudah bisa melepas kepergianmu. Tapi aku juga tidak yakin betul jika disuruh masuk ke ruangan ini, dia akan kuat. Mungkin butuh waktu sebentar lagi. Melepaskan orang yang dia sayang itu tidak mudah. Apalagi orang tuanya sendiri."
Tangan Jihoon menarik kursi yang biasanya menjadi tempat duduk appa Jira. Meminta izin pada ruangan tersebut agar dirinya diperbolehkan duduk. Ketika tubuhnya benar-benar terduduk di sana, Jihoon menghembuskan nafas panjang.
"Anak anda sungguh kuat. Sudah ditinggal kedua orang tuannya, menjadi idol yang sebenarnya bukan impian dia, sekarang memiliki kekasih seperti saya. Hidupnya penuh penderitaan." Jihoon menyandarkan diri pada kursi tersebut.
"Bukan menyindir appa. Tapi kan memang Jira tidak pernah mau jadi idol, hanya appa saja yang takut Jira tidak punya bekal untuk mendapatkan uang nanti. Karena itu juga appa sekarang sudah tenang melepas Jira sendirian. Apa karena ada saya juga?" Jihoon terkekeh sendiri dengan rasa percaya dirinya.
"Tidak mungkin appa percaya padaku begitu saja. Aku saja belum bisa menjaga Jira dengan baik. Aku lebih sering menyakitinya dengan jarak dan kesibukan. Pria baik tidak mungkin seperti saya."
Jihoon memandang langit-langit ruangan itu. Termenung mengingat masa lalunya dengan keluarga Yoon. Dulu dia hanya fokus pada karir dan masa depan dengan teman-temannya, tapi setelah dia menerima tawaran appa Jira sebagai guru musik anaknya, fokusnya jadi terbagi. Dia sendiri tidak pernah menyadari dirinya bisa mencintai seorang gadis.
Sudut bibir Jihoon terangkat. "Anakmu sungguh hebat." Puji Jihoon sekali lagi. "Dia berhasil membuat saya jatuh cinta dan membuktikan dirinya pantas untuk saya pertahankan."
Dada Jihoon berdetak kuat mendengar ucapannya sendiri. Baginya ini hal wajar. Jika mempikirkan Jira, jantungnya memang suka bereaksi berlebihan. Aku merindukannya lagi. Senyum Jihoon.
"Sebenarnya saya ke sini hanya ingin meminta maaf yang kesekian kalinya." Jihoon menunduk sesaat untuk menarik nafas. "Saya kembali lengah menjaga anak appa. Parasit kali ini sulit saya lawan. Dia keluarga anda. Tidak mungkin saya langsung memasukkannya ke penjara." Ucap Jihoon dengan santai.
Dia jadi ingat saat beberapa kali sasaeng dari Jira mengikutinya di setiap kegiatannya. Meskipun Jihoon sedang sibuk saat itu, bukan berarti dia tidak dapat menyewa mata-mata untuk mengawasi gerak gerik di sekitar kekasihnya. Ada sekitar 3 sasaeng yang sudah dia masukkan ke jeruji besi. Ketiga orang pria itu juga sudah melewati batas yang mengikuti Jira sampai ke rumah.
Baginya itu adalah hukuman yang setimpal karena mengganggu kehidupan pribadi seseorang. Apalagi mengganggu kekasihnya. Baru tiga. Masih ada calon sasaeng lagi yang menjadi sasarannya.
Jihoon tidak terlalu memperdulikan sasaeng-nya sendiri, dia lebih sering mengawasi sasaeng Jira. Lagipula sasaeng-nya sudah diatur agensi. Dia hanya pergi menjaga diri saja.
"Appa, jika anda mendengar ucapan saya, bisa berikan sedikit informasi mengenai Kang Taeji, keponakan anda. Dia yang paling mengganggu Jira saat ini. Saya sedikit gusar dengan ancamannya. Dia terlalu banyak mengetahui informasi kami. Anda pasti mengerti dengan kegusaran saya. Jadi, tolong bantu saya mencari informasi tentangnya. Karena.."
Memang membingungkan, tapi mata-mata saja tidak menemukan banyak informasi tentang Taeji. Seakan dia muncul secara tiba-tiba. "Kang Taeji ini seperti tidak punya identitas masa kecil."
Drrt..
Terpaksa Jihoon mengalihkan pikirannya sesaat dari seorang Taeji karena ponselnya yang bergetar. Pria itu memiringkan kepalanya melihat nama yang tertera pada layar datarnya.
"Ne hyung. Ada apa?" Jihoon menjawab panggilan dari manajernya. "Saya lagi di luar. Di rumah kekasih saya."
Tangan Jihoon bergerak gelisah bersamaan dengan suaranya yang bergetar malu. "A-ani. Aniya. Aku di rumah yang tidak ditinggalinya. Dia kan di apartemen sekarang, nah saya di rumah aslinya." Jihoon jadi memberikan penjelasan dengan gelagapan. Wajahnya memanas. Beruntung dia hanya sendirian di sini.
"Ani. Aniya. Saya sendirian ke sini. Dia juga lagi ada kerjaan. Kenapa hyung tiba-tiba meneleponku? Bukankah jadwalku kosong hari ini?" Alihkan Jihoon. Sebelum dirinya semakin mati kutu karena godaan.
Jihoon yang awalnya masih merasa malu, segera mengubah posisi duduknya menjadi tegak. "Ada apa?"
Jihoon mendengar ucapan manajernya dengan serius. Selama dirinya masih mendengarkan, Jihoon berdiri dari kursi dan merapihkan ruangan appa Jira. Keluar dari ruangan itu dan menguncinya kembali.
"Ne. Ne. Saya akan segera ke sana." Setelah menjawab itu, Jihoon mematikan sambungan telepon tersebut. Menggertakkan giginya dan mencengkram ponselnya dengan kesal.
"Jadi sekarang bawa-bawa CEO?!" Geram Jihoon. Langsung berpikir negatif.
☆☆☆
Apa ini? Sekarang petinggi agensi ikut-ikutan. Bapak Han mau apa ya manggil Jihoon? Hm..
Mau double up, tapi kayaknya lebih seru minggu depan. Gak apa-apa ya 😄
Minggu depan rencananya aku juga mau buat ig. Isinya tentang cerita-ceritaku di dunia orange ini. Diusahain sih bisa kasih spoiler 😆 Kalian mau gak?
Ku tunggu respon kalian 💕
Sampai ketemu minggu depan~
Annyeong~

KAMU SEDANG MEMBACA
Melody
Fiksi PenggemarBook 2 Lanjutan dari Partiture Dulu hobi ku bukan bermusik, tapi sekarang aku berkutat dengan alat musik. Tidak pernah terlintas dipikiranku ingin menjadi penyanyi, tapi aku telah menjadi bagian dari dunia para musisi. Tidak ku sangka, hidupku berub...