24-📝 Belum biasa (1)

22 2 0
                                    

Mendengar isi hati itu ia merasa teriris, ia belum biasa.

Matahari kini sudah menjauh, malam yang sudah datang akan menimbulkan banyak renungan bagi seseorang yang tidak diharapkan.

Ruang makan keluarga Putra pun ramai diisi oleh semua anggota keluarga yang kini bertambah dengan kehadiran seorang menantu dari anak bungsunya.

"Eumm, ini pasti bukan masakan Bunda?" tanya Ayah di antara mereka.

Mafka terkejut, takut jika masakannya tidak enak. "Itu masakan Mafka," jawab istrinya.

Terlihat sorot mata lelaki separuh baya itu melirik menantu perempuannya.

"Oh pantas rasanya..." Mafka merapatkan bibir begitu juga dengan Fazrin yang menunggu respon Sang Ayah terhadap masakan istrinya.

"Pantas Fazrin betah di sana, jarang berkunjung ke sini ternyata masakan istrinya se-enak masakan Bunda." senyum terlihat dari papa mertuanya, tentu membuatnya menghela napas dan membalas senyuman.

Fazrin terkekeh pelan, "Ayah ini bisa aja." fazrin menimpali dan semua orang pun tertawa saat Ayah dan anak lelakinya bertos karena satu kebenaran.

Mafka melihat senyum itu, senyum yang mungkin dipaksa. Ia pernah melakukannya, dan itu sungguh tidak membuat hati tenang.

"Pantas memang kalo Fazrin gak inget pulang, karena istrinya pinter masak," timpal Mela dan diangguki oleh sang suami.

"Ya iyalah, emang Kak Mela dulu masak air aja gosong!" respon Fazrin membuat Mafka menengok dan tersenyum kecut.

"Enak aja, itu waktu gue SMP kali!" balas Mela tak terima.

Melihat kedua anaknya ribut saat makan tentu saja lelaki separuh baya itu menegur dan menyuruh untuk fokus kepada makanan.

"Sudah Mela, Az kebiasaan. Kalo makan itu jangan banyak bicara."

Mereka berdua pun saling menjulurkan lidah tapi setelahnya diam dan fokus pada makanan masing-masing.

"Seandainya tawa itu memang benar adanya, mungkin Kak Fazrin tidak usah merasa baik-baik saja meski dalam keadaan yang berbalik," batin Mafka.

Makan malam pun berakhir, dan malam pun menjadi semakin larut. Seorang perempuan tengah menikmati semilir angin di halaman depan.

Cairan bening lolos dari mata indahnya, hatinya terluka ketika mendengar bahwa suaminya tidak bisa mencintainya.

Apakah ia harus mengakhiri perjuangan ini?

Ia tahu rasanya menyimpan rasa selama bertahun-tahun, bahkan sebelum menaruhkan pilihan pada Fazrin yang ternyata juga salah hati.

Jarinya ia usapkan pada wajah yang basah akibat cairan dari matanya yang tak kunjung berhenti.

Huhh...

Astagfirullah...

Di saat ia merasakan dingin dan hendak berlalu, tiba-tiba ponselnya berdering.

Candidate husband is calling...

Sebelum mengangkat panggilan, ia menghapus jejak-jejak tangisan yang pasti dipertanyakan.

Harapku HadirmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang