Apapun yang disembunyikan, kemudian tidak pernah dibicarakan adalah kesalahan fatal yang sulit diperbaiki.
Dua hari, setelah kepulangan Fazrin tidak ada bahasan mengenai kesalahpahaman yang terjadi. Mafka mencoba membicarakannya, tapi selalu dialihkan oleh laki-laki itu.
Srek.
Mafka yang sedang memasak makan siang pun seketika mengalihkan pandangannya dari wajan ke arah suara.
Ia mematikan kompor, karena tongseng kangkung pun sudah matang. Langsung saja ia meninggalkan dapur, untuk melihat bunyi yang ia dengar.
Koper? Terlihat koper berada di dekat tangga, tak lama suaminya muncul. Melihatnya dengan muka datar, kemudian memalingkannya dengan cepat.
Mafka langsung berjalan dengan tergesa untuk mempertanyakan maksud suaminya membawa koper sedangkan Fazrin, langsung menenteng kopernya menuruni setiap anak tangga.
Mereka berdua seperti saling menghampiri, hingga ketika Fazrin sudah ada di anak tangga terakhir Mafka tepat berhenti di samping suaminya.
Sebelum Mafka melontarkan pertanyaan suaminya langsung berbicara, "saya duluan ke rumah bunda." Dingin sekali ucapan yang terlontar oleh sang suami, bahkan tidak melihat lawan bicaranya.
Mafka tercekat mendengarnya, tapi ia mencoba menahan segala emosi yang sering sekali menyerangnya. "Oh, kalo gitu aku beres-beres dulu." Mafka pun berjalan menuju tangga untuk pergi ke kamar atas.
Satu langkah pun baru dimulainya, tapi suara dingin kembali terdengar dan kali ini membuat matanya memanas.
"Saya bilang, saya duluan. Itu berarti tanpa kamu," ucapnya masih tak ingin melihat wajah sang istri.
Mafka menggenggam kuat tangannya sendiri. "Kak, soal waktu it-" Ia ingin membahasnya, tapi jari telunjuk yang diberikan Fazrin membuat Mafka menghentikan kalimatnya.
"Jangan, pernah bahas itu lagi. Saya muak," ucapnya begitu kentara, nada suara tak mengenakkan itu menyapa rumah ini.
Mafka menggeleng dengan cepat, ia langsung bergeser sehingga berhadapan dengan lelaki yang tidak mau melihat wajahnya sejak beberapa hari yang lalu.
"Enggak. Kita harus bicara soal itu, masalah gak bisa terus didiamkan tanpa pembicaraan." Mafka berharap ucapannya ini bisa membuat Fazrin luluh dan mau membicarakan, tentang apa yang sudah membuat mereka saling diam.
Fazrin tidak bereaksi bahkan mungkin menganggap itu hanya angin lalu saja, ia juga tidak melirik barang sedetikpun.
"Saya sudah bilang, untuk tidak membahasnya! Jika kamu masih sadar dengan status sebagai istri, maka dengarkan perintah suami kamu!" Fazrin berapi-api mengatakan ini, meski tatapannya masih dialihkan dari wajah Mafka.
Mafka tersentak, ketika nada tinggi itu menghampiri pendengarannya. Ia tidak berani berkata apapun lagi, takut jika emosi dari suaminya akan membuat hubungan ini berakhir begitu saja.
Setelah kembali menetralkan napasnya yang memburu akibat tidak mau membahas masalah, kini ia mengambil kopernya yang semula ia turunkan ke lantai. Kali ini, laki-laki itu tidak mengangkatnya melainkan menarik pegangan dan menyeretnya.
Fazrin berlalu, meninggalkan Mafka yang terdiam dengan luruhan air mata menyusul saat sang suami melangkah pergi.
Suara koper yang diseret menjadi alihan suara tangis yang berusaha dipendam, tapi kemudian suara itu berhenti.
"Saya gak mau, bunda tau masalah ini. Kalo ditanya, kamu ada kuliah jadi memilih berangkat belakangan." Setelah mengucapkan kalimatnya, ia berlalu pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Harapku Hadirmu
Spiritual#3 fazrin 24/06/2020 #2 fazrin 13/08/2020 Mafka Malihah Farha, seorang perempuan yang selalu berharap pada lelaki yang tak pernah mengharapkannya. Ia lelah selalu memberi hati! Namun, suatu hari ia dipertemukan dengan lelaki yang diharapkannya! Buk...