19.Rindu

203 19 0
                                    

Entah firasat dari mana Tara yakin kalau Hero akan menjenguk kesini, ia pun menitip pesan pada Bibinya.

"Kalau nanti ada yang nanyain aku bilang aku nggak mau diganggu dan ditemuin, tolong ya Bi," ucap Tara memohon.

"Teman mu, Jeje?" Tara menggeleng.

"Bukan, hm ... dia pasti bakalan maksa, tapi bibi tetep bilang jangan ya," ucap Tara memhon, awalnya Stela ragu tapi tak lama ia mengangguk sebab Tara pasti punya alasan lain.

"Kamu minum obat lagi aja sekarang," ucapnya sambil menyodorkan obat dan Tara meminumnya patuh.

Saat membeli buah untuk menjenguk Tara Hero teringat ucapan Rigel, anak itu mengapa sangat tiba-tiba mengatakan hal yang mungkin menurutnya sangat tidak penting, peduli apa Rigel pada kehidupan Tara?

Rumah kediaman Tara yang cukup besar ini terkesan seperti rumah pada zaman dulu, gelap dan sangat sepi. "Cocok ni main film hantu disini," ucapnya asal lalu memencet bel rumah itu.

"Hei, kamu temannya Tara ya?" ucap Stela dengan senyum manisnya. Ia senang Tara mempunyai teman baik selain Jeje. Selain baik parasnya juga sangat tampan.

Hero mengangguk dengan senyum sopannya, ia bersaliman dengan Stela. "Iya Tan, Tara nya ada?"

"Ada, ayo masuk dulu," balas Stela dan Hero pun memasuki rumah tersebut.

"Kamu mau minum apa?" tanya Stela sebab di rumah ini tak ada pelayan. Hero menggeleng.

"Nggak usah Tan, saya hanya ingin bertemu Tara dan oh ini...." Hero memberikan plastik yang ia bawa dan Stela menerima dengan baik.

"Terima kasih, tapi sayang Tara sudah memberi pesan pada Tante kalau anak itu tak mau bertemu siapapun," balasnya jujur.

Pikiran Hero jadi yang tidak-tidak. "Apa penyakitnya parah Tan?"

Melihat wajah khawatir Hero membuat Stela tersenyum manis, Hero terlihat sangat khawatir. "Dia sudah kuat kamu jangan khawatir," jawabnya.

"Saya ikut sedih nggak bisa jaga dia," ucap Hero yang berpikir Tara kehujanan. Stela menggeleng.

"Tak apa, sebentar deh Tante bujuk dulu anaknya, tunggu ya." Stela pergi ke kamar Tara dan tak ada jawaban sebab anak itu pura-pura tertidur.

"Tara temanmu menunggu," ucapnya yang tak mendapatkan respon.

"Gimana Tan?" tanya Hero ketika Stela kembali.

"Masih sama, tak ingin ditemui, mungkin sore. Mau menunggu?" tanya Stela masih dengan senyuman hangatnya.

Hero mengangguk. "Iya deh Tan, nggak papa kan aku nunggu?" Stela mengangguk sebagai balasan.

Jarum jam terus berjalan, tak terasa sudah sore Hero menunggu sampai ia ketiduran. Tara keluar dari kamar dan berjalan pincang memperhatikan anak itu, ia tersenyum kecut dan kembali ke kamar untuk mengambil selimutnya dan menyelimuti Hero, ia berdecih kesal kenapa anak ini selalu mengganggu pikiran Tara. "Cih, dasar keras kepala," ucap Tara lalu kembali ke kamarnya.

Stela melihat itu dari jauh dan tersenyum sedih, ia menahan pergelangan tangan Tara saat anak itu akan masuk ke dalam kamar. "Apa tidak sebaiknya kamu menemui laki-laki itu?" tanya Stela.

"Namanya Varo bi, dan keputusan ku masih tetap sama tak mau bertemu dengannya, tolong ya Bi ini menyangkut masalah pribadi," kata Tara tak terbantahkan. Stela mengusap pundak Tara, anak itu sampai sekarang masih tak mau berbagi cerita dengan bibinya.

Hero bangun saat telponnya berdering, itu telpon dari Bundanya. "Aku otw pulang," ucap Hero lalu bangkit karena Stela memperhatikannya.

"Tan maaf aku jadi ketiduran disini," kata Hero.

"Tidak apa, maaf juga Tara masih tak mau ditemui," balas Stela membuat Hero sedikit kecewa, ia masih tersenyum pada gadis yang sedari tadi sangat ramah ini padanya.

"Yah Tan, nggak papa deh. Oh ya Tan, aku izin pulang saja ya. Titip salam pada Tara sampaikan cepat sembuh, terima kasih," ucap Hero.

Saat akan keluar Hero kembali membalikan badannya. "Maaf Tan, kalau boleh tahu yang menyelimuti saya siapa ya?" tanya Hero sebab tadi ia merasa dekat dengan Tara.

Jelas Stela tak mungkin mengatakan orang itu adalah Tara. "Tante Varo." Jawabnya.

Varo? itu nama panggilan dari Tara, artinya Tara tadi keluar dan melihat dirinya. Ia tersenyum dan memuat Stela kebingungan.

"Ada apa?" tanya Stela.

Hero menggeleng. "Saya pulang Tan, permisi."

Setalah makan malam Hero mendapatkan notifikasi kalau Tara sudah update chapter baru dalam ceritanya dan itu membuat ia girang. Rigel yang tengah bermain game menoleh sekejap pada Hero. Ia berdecih dengan senyum kirinya.

Suatu hari Rigel pernah penasaran dengan sikap kakaknya itu dan mencari tahu apa yang membuatnya senang dan ia berhasil mengetahui itu, Rigel sekarang sangat sudah yakin penulis itu adalah Tara.

Pahlawan:
Kenapa si pemeran utama harus sedih?

Pahlawan:
Semangat peran utama dan penulisnya, hihihi

Pahlawan:
You are not alone.

Komentar itu membuat Tara tersenyum manis. "Apa mungkin ini Rigel?" Tanya Tara tak percaya, jika ia itu Rigel rasanya Tara akan selalu terbang jika membaca ulang.

Tapi tak lama senyum itu luntur. "Atau Atalas?" lanjutnya ragu.

Rencananya hari ini Tara tak akan sekolah mungkin untuk beberapa hari kedepan sampai kakinya benar-benar pulih.

Ketidak hadiran Tara membuat Hero semakin khawatir separah apa penyakit Tara, tak hanya Hero, diam-diam Rigel juga ikut cemas dari kejadian hari itu entah mengapa Tara selalu terlintas dipikirannya.

Rasa sakit itu justru membuat Tara senang, sejujurnya ia lebih baik lama di rumah dari pada harus di sekolah, setidaknya di rumah  duduk dengan aman tanpa harus bersembunyi di belakang perpus.

"Ayo Rigel!" Ucap Novia sambil menarik tangan laki-laki itu.

Pemandangan Rigel dan Novia berjalan bersamaan selalu membuat para gadis kesal. Novia menikmati itu semua.

Sudah hampir tiga hari Tara tidak masuk sekolah dan Hero sangat merindukannya. Apa pantas kata rindu itu muncul di benaknya untuk Tara? Hero normal dan ia bisa saja terbawa perasaan.

"Udah bener mobilnya?" tanya Rain saat Hero tiba di rumah. Hero mengangguk, mobilnya rusak sebab di pakai Rigel dan anak itu sama sekali tak membantu.

"Udah, aku izin ke rumah sakit Bun." Ucapnya lalu bersaliman. Rain tahu siapa orang yang Hero temui.

"Titip salam buat Nasa ya," balas Rain.

Nasa Alingga kali ini akan kembali kemoterapi dan Hero tak pernah absen sekalipun. Keputusan Nasa pindah ke Jakarta juga karena Hero, dan Ibra memaklumi hal itu sebab tak ada semangat lain untuk putri kecilnya ini selain Hero. Sebelum masuk ke ruangan operasi Nasa berbincang dulu dengan Hero.

"Jangan tegang, dulu aku disunat aja nggak tegang kok," ucap Hero saat memeluk Nasa.

"Ngaco!" omel Nasa pada pacarnya ini. "Aku udah biasa dan kamu tahu itu."

"Aku tahu? no, aku Hero bukan tahu apa lagi tempe," balas Hero membuat Nasa terkekeh kecil.

"Kamu bala-bala gatot!" ucap Nasa mengejek.

"Keasinan atau ketampanan?" tanya Hero sambil merapikan rambutnya.

"Kepedean!" balas Nasa dan kedua orang itu tertawa lepas.

"Aku mau bicara Nasa." Kata Hero setelah tawa itu terhenti.

"Tumben bilang, jangan bilang kamu tahu rahasia negara?" tanya Nasa untuk menghilangkan ketegangan.

"Rahasia kita ini mah, yakin," balas Hero dengan wajah yang ia buat-buat yakin.

"Hahaha, apa?" Nasa penasaran.

"Ini bakalan bikin kamu sakit, tapi aku harus bilang...." Ucapan Hero menggantung.

                            ********

Overthinking [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang