SM - 23

8.8K 495 30
                                    

"Terima kasih, Pak," ucap Tiara pada supir pribadi Salman yang telah mengantarkannya pulang ke rumah.

"Sama-sama, Mbak," jawab pak Eko. Tiara pun keluar dari mobil, kemudian pak Eko kembali menuju kantor.

Tiara berjalan masuk ke dalam rumah sambil mengayunkan tas yang sedang ia pegang, Tiara meraih gagang pintu samping rumah mereka dan membukanya. Saat ia ingin menutup pintu itu kembali, mobil Marsya masuk ke dalam pagar rumah. Tiara memutuskan untuk menyapa Marsya dan masuk bersamanya ke dalam rumah. Ia kembali melangkah keluar menunggu Marsya keluar dari mobilnya. Saat Marsya keluar dari dalam mobilnya, mata Tiara hanya tertuju pada satu hal. Mata Marsya yang sembab. Tiara memandang Marsya heran dan berjalan menghampiri Marsya.

"Kamu kenapa?" tanya Tiara mulai menyapa Marsya.

"Aku kenapa memangnya?" Marsya ikut bertanya pada Tiara.

"Kamu habis nangis?"

"Gak kok," bantah Marsya.

"Tapi mata kamu gak bisa bohong," ujar Tiara, "ada yang jahatin kamu?

"Bukan urusan kamu!" Marsya melangkah melewati Tiara lalu masuk ke dalam rumah dan berlari ke kamarnya. Tiara masih menatapnya heran, kemudian menutup pintu rumah mereka. Karena rasa ingin tahu Tiara terlalu tinggi melebihi gedung pencakar langit, akhirnya Tiara memutuskan untuk mengikuti Marsya ke kamarnya. Sesampainya di depan kamar Marsya, Tiara mendengar suara isak tangis yang ia yakini suara itu adalah milik Marsya. Tiara membuka pintu kamar Marsya perlahan, ternyata tidak terkunci. Tiara pun masuk ke dalam dan menutup pintunya kembali. Menyadari ada seseorang yang masuk ke dalam kamarnya, seketika Marsya berhenti menangis dan langsung menoleh ke arah pintu kamarnya dengan posisinya yang masih berbaring.

"Maaf, aku masuk tanpa izin darimu. Tapi meskipun kamu usir aku keluar, aku gak akan keluar sampai kamu mengatakan kenapa kamu menangis seperti ini?" tukas Tiara yang sudah duduk di pinggir kasur Marsya.

"Pantas saja mama selalu jengkel sama kamu, memang ternyata kamu orang yang sangat menyebalkan," gerutu Marsya, kemudian kembali membenamkan kepalanya di balik bantal guling yang sedang dipeluknya.

Tiara tersenyum, "jika tidak menyebalkan, ya bukan aku namanya," ucap Tiara namun tak mendapat respon dari Marsya, "aku tahu kita tidak begitu dekat, tapi umur kita sama jadi aku bisa mengerti tentang kesedihanmu itu. Jika berbagi tidak dapat menyelesaikan masalah kita setidaknya bisa membuat beban yang kita pikul sendiri itu menjadi lebih ringan. Kamu juga tau kan masalahku sudah seperti apa?"

"Kamu tidak akan bisa mengerti tentang masalahku, jadi lebih baik kamu kembali ke kamar kamu! Jangan ganggu aku!" Seru Marsya.

"Baiklah, aku akan menunggu di sini. Terima kasih sudah mengizinkanku," ucap Tiara, kemudian ikut berbaring di samping Marsya.

"Astaga Tiara! Siapa yang mengizinkanmu guling di kasurku?" Marsya berteriak.

"Kupingku belum budek Marsya," ucap Tiara sambil mengusap pelan telinganya, "rebahan dikit aja gak boleh, aku sedang lelah. Keponakanmu di dalam perutku juga butuh istirahat."

"Makanya aku suruh kamu balik ke kamar kamu! Rebahan dengan segala posisi kamu bebas di sana. Jangan di sini!" Marsya menghela napasnya kasar.

"Tapi aku masih kepo bagaimana?" Tiara menunjukkan ekspresinya yang memelas pada Marsya, "tante anakku sedang bersedih. Aku harus tahu apa penyebabnya, kita bisa selesaikan bersama Marsya," tawar Tiara.

"Masalahku terlalu berat, kamu gak akan bisa membantuku menyelesaikannya."

"Masalah apa yang lebih berat daripada ditinggalkan di hari pernikahan, lalu dilecehkan hingga hamil, terus dipenjara dan karir meredup? Apakah masalahmu lebih berat daripada itu? Aku malah mengira kamu menangis karena putus cinta," terka Tiara.

Sekilau MutiaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang