SM - 11

11.7K 707 35
                                    

Sania berjalan mendekati kolam renang sambil terus berbincang dengan temannya melalui telepon membahas tentang rencana perjodohan antara Reza dan Rani. Mendengar perbincangan Sania ditelepon, membuat Tiwi yang sedang merawat tanamannya di dekat kolam renang langsung menghentikan aktivitasnya dan menghampirin Sania. Melihat kedatangan Tiwi di hadapannya membuat Sania segera mengakhiri sambungan teleponnya.

"Kenapa mbak memandangku seperti itu?" Tanya Sania.

"Tidak bisakah kamu sekali saja tidak memaksakan kehendakmu pada Reza?" Tiwi membalas dengan pertanyaan.

"Aku itu hanya ingin yang terbaik untuk Reza. Rani itu cantik, baik, sholeha, dokter lagi. Harusnya mbak itu bersyukur anak kita akan menikahi orang seperti itu." Ucap Sania.

"Aku sangat berterima kasih karena kamu sangat memikirkan tentang anak-anak kita. Tapi cara seperti ini juga tidak baik untuknya. Dulu Laras, sekarang Rani. Biarkan dia memilih kehidupannya sendiri."

"Memilih kehidupan sendiri? Apa maksud mbak? Dengan menikahi wanita jalang itu mbak maksud dia telah memilih kehidupan yang lebih baik?" Sania mulai kesal.

"Dia seperti itu juga karena kesalahan Raka. Jangan lupakan hal itu." Balas Tiwi membela Tiara.

"Jika dia tidak menggoda Raka, maka semua ini tidak akan pernah terjadi. Ohhh, aku tidak heran mengapa mbak sangat membela si jalang itu karena kalian sebenarnya sama bukan? Sama-sama wanita penggoda." Cibir Sania.

"Jika aku wanita penggoda, maka Salman tidak akan menikahiku secara baik-baik. Meski hanya siri tapi pernikahan itu sah. Jangan lupa Sania, sebelum menikah denganmu dia adalah suamiku." Tiwi mulai terpancing dengan kalimat Sania.

"Benarkah? Jika mbak bukan wanita penggoda, seharusnya mbak tinggal mas Salman sejak dulu setelah mbak tahu bahwa aku akan menikah dengannya."

Tiwi tertawa sumbang. "Bukannya harusnya kamu yang meninggalkan dia saat tahu bahwa dia sudah memiliki istri? Lalu mengapa masih memaksanya terjebak dalam pernikahan semu ini?"

"Mbak jangan lupa, mbak masih bisa hidup dengan nyaman di rumah ini itu karena belas kasihanku." Sania memajukan selangkah kakinya mendekati Tiwi.

"Jangan lupa juga bahwa ini adalah rumah suamiku, dan jika sampai hari ini kamu masih dapat dipanggil mama oleh anak-anakku, jangan lupa bahwa semua itu karena belas kasihku padamu."

Emosi Sania mulai memuncak hingga akhirnya ia melayangkan satu tamparannya kepada Tiwi. PLAAKKK

"Ini balasan karena telah berani menentangku."

Tiara yang sedang membawa segelas susu di tangannya berjalan melewati pintu mengarah ke kolam renang. Matanya berhasil menangkap Sania yang telah menampar Tiwi. Tiara mempercepat langkahnya dan menghampiri mereka berdua. Setelah berhasil berada di dekat mereka, Tiara menyiramkan segelas susu yang dibawanya ke wajah Sania. Beruntungnya, susu tersebut sudah tidak lagi panas, jika tidak maka wajah Sania pastilah akan melepuh karena perbuatan Tiara.

"Aaahhhhh. Apa yang kau lakukan?" Teriak Sania.

"Tiara!" Ucap Tiwi terkejut. Tanpa menghiraukan ucapan mereka berdua, Tiara mendorong Sania hingga Sania jatuh ke dalam kolam renang.

"Ini balasan karena telah menghina dan menyakiti butiw." Ungkap Tiara geram.

"Tiara. Apa yang kamu lakukan?" Tiwi tidak percaya bahwa Tiara akan sangat berani pada Sania.

"Aku sedang memberinya pelajaran. Tenanglah. Setelah ini, induk kucing garong ini tidak akan berani menyakiti butiw lagi." Ucap Tiara.

"Tapi bukan begini caranya Tiara." Tiwi mencoba menasihati Tiara. Perlahan Sania berenang ke tepi kolam, kemudian keluar dari kolam tersebut. Sania menatap tajam Tiara yang telah dengan beraninya mendorongnya ke dalam kolam renang.

Sekilau MutiaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang