SM - 36

10.3K 508 25
                                    

Tiwi melintasi kamar Tiara dengan pintunya yang masih terbuka lebar, langkahnya bergerak mendekati ruangan itu. Ruangan yang menjadi saksi bisu kesedihan Tiara. Tiwi melihat Tiara membenamkan wajahnya di ujung ranjangnya, duduk di lantai dan dengan bahunya yang sesekali terlihat naik turun. Isak tangis Tiara dapat di dengar jelas oleh Tiwi saat ia melangkah mendekati Tiara. Tiwi duduk di tepi ranjang Tiara, perlahan Tiara mengangkat wajahnya, matanya yang sembab dan dipenuhi dengan airmata. Ia memberanikan diri untuk menatap Tiwi.

"Butuh bahu ibu?" tawar Tiwi sambil memandang Tiara sedih. Tiara menganggukkan kepalanya pelan, kemudian menghambur ke dalam pelukan Tiwi.

"Ibu tidak tahu apa yang membuatmu sedih, tapi ketahuilah, masalah itu tidak akan selesai hanya dengan menangis. Jika ini masalah rumah tanggamu, ibu tidak bisa menyarankan banyak hal karena kamu sendiri tahu duka seperti apa yang terjadi di antara kami bertiga. Percayalah! Saat hatimu tulus dan ikhlas menerima semua yang sudah menjadi takdirmu, maka tidak perlu kamu mengemis cinta dari siapapun karena dirimu sendiri mampu membuatmu tersenyum dan orang lain akan mengiringinya. Bukan dari orang lain, tapi mulailah dari dirimu sendiri. Sebesar apapun ketakutan dan duka yang kamu punya, hanya dirimu yang mampu mengobatinya. Hanya dirimu yang mampu menyelamatkan dirimu sendiri. Lepaskan semua beban yang membuatmu terluka!" ujar Tiwi sambil terus mengusap lembut punggung Tiara.

"Butiw." Hanya satu kata itu yang keluar dari bibir Tiara. Mendengar lirihan Tiara dalam tangisnya membuat Tiwi semakin membenarkan asumsinya bahwa Tiara menangis karena masalah rumah tangga mereka yang ia saksikan sendiri bagaimana semua itu terjadi jelas di depan matanya.

"Muliakan suamimu! Bagaimanapun dia bersikap padamu. Dia menghargainya atau tidak, apapun yang kamu lakukan untuknya kamu akan mendapatkan pahala. Bersainglah kamu dengan dirimu yang kemarin, jangan malah bersaing dengan madumu!"

"Bersaing dengan diriku yang kemarin? Aku tidak mengerti maksud butiw." Tiara melepaskan pelukannya dari Tiwi dan menatapnya bingung.

"Iya, bagaimana kemarin kamu memperlakukan suami kamu? Jika sudah baik, maka perlakukan jauh lebih baik lagi, pelayananmu, kasih sayangmu dan semuanya. Tapi jika masih kurang baik, maka harus diperbaiki lagi sampai nanti hatimu merasa tenang karena kamu bersaing dengan dirimu sendiri. Begitulah cara istri mengambil hati suaminya."

"Terima kasih, Butiw," ucap Tiara dan kembali memeluk Tiwi, "butiw, aku melupakan sesuatu. Astaghfirulahalazim, bagaimana aku bisa melakukannya?" Tiara melepaskan pelukannya pada Tiwi dan segera menghapus airmata yang masih tersisa membasahi wajahnya.

"Apa yang kamu lupakan?" tanya Tiwi bingung.

"Maafkan aku butiw, aku harus pergi sekarang. Terima kasih sudah menghiburku," ucap Tiara lalu mengecup pipi kiri Tiwi singkat, kemudian berlalu keluar dari kamarnya. Tiara mempercepat langkahnya menuju ke sebuah ruangan. Sesampainya ia di depan ruangan tersebut, perlahan tangannya membuka pintu itu. Matanya melihat kesana kemari mencari sosok yang sangat ingin ia lihat. Tiara menutup pintu kamar itu saat ia melihat anak yang selama beberapa bulan ini selalu memanggilnya dengan sebutan mama, sedang menangis di balik ranjangnya. Ia duduk di lantai, wajahnya ia sembunyikan di balik lengan yang terlipat di atas kakinya yang menekuk ke atas. Hati Tiara pilu menyaksikan bagaimana anak itu menjadi korban dari prahara rumah tangga orang tuanya. Tiara menghampiri Habib dan mengusap lembut kepalanya.

"Habib anak mama sayang," panggil Tiara lembut. Habib pun mengangkat kepalanya dan memandang Tiara. Ia tidak menjawab panggilan Tiara namun airmatanya terus mengalir membasahi wajahnya yang mungil. Tiara langsung membawa Habib ke dalam pelukannya.

"Maafkan mama ya, Nak. Mama sudah memarahi Habib tadi," ucap Tiara menangis. Habib tidak mengatakan apapun untuk merespon ucapan Tiara, ia hanya terus menangis sambil memeluk Tiara, "mama sangat menyesal, Nak. Harusnya mama tidak memarahi kamu. Kamu pasti sangat takut ya?" Tiara menghapus airmata Habib dengan jemarinya. Habib menganggukkan kepalanya perlahan.

Sekilau MutiaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang