Sudah tiga hari Irene libur dari kesibukannya di rumah sakit. Selama itu pula ia hanya menghabiskan waktunya di rumah, menemani sang suami dan anak-anaknya. Irene terlihat duduk di ruang tengah dengan majalah di tangannya. Merasa tenggorokannya kering, ia memanggil Sandara untuk membawakan air minum.
Yeri terlihat gugup, ia ragu melangkahkan kakinya mendekati wanita yang tak lain adalah Ibunya sendiri. Ia mencoba memberanikan diri, dengan tangan kanannya membawa segelas air putih. Perlahan berjalan ke arah sang Mommy.
Irene melirik sekilas kala mendengar suara langkah kaki mendekatinya.
"Apa yang kau lakukan di sini?" ucap Irene dingin dengan mata tetap fokus pada majalah di tangannya.Tangan Yeri terlihat bergetar, mendengar nada bicara Ibunya yang begitu dingin. Sungguh ia sangat takut sekarang.
"A-a-ku ha-ha-nya..."Pergi."
"Mom." ucap Yeri lirih. Lagi-lagi penolakan yang ia terima dari Ibunya. Apa yang salah dari Yeri, ia hanya berniat baik pada Ibunya.
"Bawa pergi gelas itu. Jangan harap aku akan meminumnya." ucapnya lebih dingin tanpa menoleh sedikitpun ke arah Yeri.
Pertahanan Yeri runtuh, air matanya langsung turun kala mendengar ucapan demi ucapan dingin dari Mommynya. Sudah cukup, Yeri tidak sanggup berlama-lama berdekatan dengan Ibunya.
Yeri bergegas memasuki kamarnya, menutup pintu lalu menguncinya. Yeri menangis, ia terduduk dibalik pintu kamarnya. Bukankah ini hal biasa, mengapa masih sesakit ini. Bukankah tadi ia sudah siap dengan apa yang akan ia terima. Kenyataannya ia tetap tersakiti saat ia mencoba ingin dekat dengan Ibunya.
......
"Anda memanggilku Nyonya?"
"Sandara, bawakan aku segelas air."
Sandara mengangguk mendengar permintaan majikannya. Ia berjalan ke arah dapur, mengambil segelas air lalu bergegas kembali ke tempat Irene. Namun, langkahnya terhenti kala melihat segelas air putih masih utuh di atas meja dapur.
Selesai dengan tugasnya, Sandara mencoba mengetuk pintu kamar Yeri. Sejak tadi ia belum melihat nona mudanya keluar kamar. Pintu terbuka, menampilkan Yeri dengan mata yang terlihat sembab. Dara menduga Yeri baru saja menangis.
"Ada apa?" tanya Dara khawatir.
Yeri hanya menggelengkan kepalanya.Dara mengusap lembut kepala Yeri yang tengah tertidur, menjadikan paha Dara sebagai bantal. Yeri tidak benar-benar tidur, ia hanya menikmati usapan lembut sang Bibi.
"Ada yang ingin kau ceritakan?"Yeri membuka matanya, menatap Sandara yang juga menatapnya dengan penuh kelembutan.
"A-a-pa-ka-kah a-a-ku me-mem-ma-lu-lu-kan?"
Kini Dara tau penyebab mata Yeri terlihat sembab. Keluarga yang seharusnya menjadi tempat berkeluh-kesah. Tapi tidak untuk Yeri, justru sumber air matanya selama ini adalah keluarganya sendiri."Kau tau, tidak ada orang tua yang malu memiliki anak yang baik dan manis sepertimu."
Yeri menggeleng, Dara selalu berucap seolah-olah orang tuanya menyayanginya.
"Percayalah, suatu saat mereka akan menyayangimu. Mereka hanya belum menyadari betapa berharganya memiliki anak sepertimu. Kau hanya perlu bersabar menunggu waktunya. Kau tidak sendiri Kim Yerim, ada Bibi yang terus bersamamu." ucap Dara. Dapat Yeri liat ketulusan di mata Sandara. Betapa bahagianya jika orang yang di hadapan Yeri saat ini adalah Ibu kandungnya sendiri. Tentu Yeri akan benar-benar merasa memiliki keluarga.
Yeri beranjak memeluk erat Sandara, menumpahkan segala yang ia pikul dalam hidupnya. Dipandang sebelah mata, dijauhi semua orang, bahkan oleh keluarganya sendiri. Bukan hal yang mudah untuk gadis seusianya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PROMISE
FanfictionTentang janji yang pernah terucap. Namun tak satupun dari mereka menepatinya. "Bukankah sudah ku bilang, jadilah seperti saudaramu yang lain, yang bisa membanggakan keluarga." Kim Joohyun. "Lupakan ucapan ku yang dulu, aku menyesal pernah mengataka...