Epilog

107 10 9
                                    

2018

Seorang gadis tengah duduk di sebuah kedai kopi. Sudah lama ia tidak bersantai begini. Semenjak toko kuenya ramai, ia tidak bisa bersantai. Beruntung sekarang toko kuenya memiliki beberapa pelayan, setidaknya ia tidak perlu berurusan dengan banyak orang.

Sebagaimana kedai kopi pada umumnya, mereka pasti memutar lagu untuk membuat mood atau setidaknya menghilangkan rasa sepi. Seperti saat ini, gadis itu, atau kita sebut saja Kevia, mendengar sebuah lagu yang diputar. Kevia mengenali suara itu.

Waiting here for someone
Only yesterday we were on the run
You smile back at me and your face lit up the sun
Now I'm waiting here for someone

Suara dan lirik itu terdengar sangat jelas bagi Kevia, bahkan ia bisa merasakan apa yang disampaikan oleh penyanyi itu. Kevia terkekeh kecil. Kenapa tiba-tiba ia merasa kalau lagu itu diciptakan untuknya? Bukannya sangat mustahil kalau penyanyi ini menciptakan sebuah lagu yang dipenuhi penyesalan itu untuknya? Lagi pula, lagu ini dirilis jauh setelah mereka bertemu. Sudah pasti si penyanyi sudah melupakannya. Iya kan?

Kevia memutuskan untuk membuka ponselnya. Melihat apakah ada pesan dari salah satu pegawainya mengenai toko kuenya. Juga menghubungi sahabatnya yang terlambat. Kevia memang tidak sendiri di sana, ia berencana untuk bertemu Clara. Membicarakan beberapa hal soal toko dan kata Clara ada hal penting yang ingin ia sampaikan.

"Sorry, I am late. You know, traffic." Tukas Clara begitu tiba di hadapan Kevia. Kevia hanya bisa memutar matanya, selalu itu alasan Clara. Padahal Kevia tahu kalau Clara pasti telat bangun gara-gara terlalu lama menonton video 5SOS. Apa lagi band itu baru saja rilis single baru.

"Jadi, hal penting apa yang ingin kau bicarakan?" Tanya Kevia. Clara mendengus. "Hold your horses, girl. Calm down. Aku pesan minum dulu."

Clara bangkit dari kursinya menuju meja kasir, lalu kembali tidak lama kemudian. "Kau makin lancar." Ujarnya tiba-tiba.

Kevia memutar matanya malas. "Kau kira terapiku selama beberapa tahun ini sia-sia?" Clara terkekeh. "Tidak perlu marah begitu. Aku hanya memuji."

"Lalu, apa yang ingin kau sampaikan?" Clara merogoh tas selempangnya dan mengeluarkan dua buah lembar tiket.

"Aku akan mengajakmu untuk datang ke sebuah konser besok." Katanya sembari mengibaskan tiket-tiket itu.

"Konser siapa?" Clara menyunggingkan senyum lebar. "Mantan kekasihmu." Katanya. Kevia mengerutkan keningnya. "Aku tidak ingat pernah punya kekasih seorang penyanyi."

"Kalian memang tidak berpacaran, tapi kalian pernah berciuman." Clara menyerahkan selembar tiket pada Kevia, memintanya membaca nama konser di tiket itu.

Kevia membaca tiket itu dan seketika terdiam. Nama itu, nama yang sudah lama tidak ia dengar. Meski ia baru saja mendengar lagunya tadi.

"Kenapa kau tiba-tiba membeli tiket konsernya?" Tanya Kevia. Clara menyeruput minumannya yang baru tiba. "Aku ingin melihat Julia Michaels."

"Lalu kenapa kau harus mengajakku?" Clara mengedikkan bahunya. "Aku tidak punya orang lain yang bisa di ajak. Adikku penggemar musik Kpop dan aku tidak mungkin mengajak Bibi Aleksi."

Kevia menyerahkan tiket itu pada Clara. "Aku tidak mau ikut. Kau ajak yang lain saja." Clara berdecak. "Kenapa? Kau takut bertemu dengannya?" Kevia mengangguk.

"Kau sendiri yang bilang kalau kau tidak hidup dalam cerita fiksi penggemar, lalu kenapa kau harus takut? Lagi pula, kecil kemungkinan kita bisa bertemu dengannya." Kevia terdiam.

Benar juga. Batinnya. Ia bukanlah tokoh dalam fiksi penggemar, di mana si penyanyi bisa dengan mudah melihatnya di antara ribuan orang di dalam stadium, belum lagi kondisi lampu yang gelap. Itu mustahil.

The Noiseless AssistantTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang