Part 33

15 11 3
                                    

Elsa bangun dengan rasa pegal di lehernya. Ia mengerjapkan mata perlahan—berusaha menyesuaikan cahaya lampu yang masuk. Lalu teringat jika ia tertidur di pundak Esa, semalam. Dan sekarang Esa masih ada disisinya, kepalanya terlihat bersandar Kedinding belakang yang keras. Matanya belum terbuka, tangannya bersedekap di dada, wajah tampan nya terlihat bersinar dibawah lampu. Posisi tidur Esa jelas tak nyaman. Apalagi dengan adanya Elsa di bahu nya.

Adakah manusia yang bisa tidur nyenyak dengan posisi yang tidak nyaman?

Tapi tak bisa dipungkiri kalau ia nyaman di bersandar di bahu Esa. Semalaman dengan posisi seperti itu. Dan Elsa sama sekali tak menggeliat tak nyaman saat tidur.

Ia melihat ke jendela, masih gelap. Tapi adzan subuh sedang berkumandang. Elsa mendengarkan dalam diam, dan terus bersandar pada bahu Esa. Ia memang tak tahu diri.

Semalam ia dan Esa beradu mulut tentang dimana mereka tidur semalam. Elsa tertawa pelan, teringat jika Esa bersikeras agar mereka tidur di musholla yang ada dirumah sakit agar Elsa bisa tidur nyaman, terlentang. tentu saja tempat laki-laki dan perempuan terpisah—dihalangi sebuah tirai panjang sebatas kepala. Jadi bisa dipastikan jika ia dan Esa akan tidur terpisah. Tapi Elsa tak mau tidur sendirian, ditempat asing. Kemungkinan-kemungkinan terburuk sudah memenuhi kepalanya, membuat ia bergidik ngeri. Akhirnya Esa mengalah. Elsa tertawa puas saat Esa menunjukkan wajah pasrah nya, berusaha menerima. Padahal Esa melakukan itu agar Elsa nyaman, tapi Elsa lebih baik disini—bersama Esa.

Di badan nya juga terbalut sebuah jaket tebal, padahal ia memakai sweatter. Elsa memandang tubuh Esa, lalu ia terbelalak. Esa hanya memakai kaus putih oblong yang terlihat tipis, ditambah jeans berwarna hitam nya. Bisa dipastikan bahwa ini jaket Esa. Aroma dari jaket itu menguar, membuat Elsa merasa nyaman dan mengantuk kembali.

Baru saja Elsa ingin melanjutkan tidurnya, bahu Esa bergerak. Esa terbangun, mata nya mengerjap beberapa kali. Kemudian ia memandang Elsa sambil  tersenyum, "Kamu udah bangun?"

Elsa hanya mengangguk pelan, ia bersandar kembali di bahu Esa—memutuskan untuk tidur kembali. Tapi Esa menganggu nya, "Jangan tidur. Mending kita sholat dulu." Ucap nya. Lalu Esa berdiri, meregangkan otot-otot tubuh nya yang pegal. "Aku mau lihat Ibu sebentar ya. Kamu tunggu sini." Sambung nya. Lalu Elsa melihat punggung tegap itu masuk ke sebuah ruangan yang tepat berada di depannya.

Semalam Elsa lebih memilih untuk tidur di bangku depan ruangan Ibu Esa dirawat daripada di kamar Dewa. Pasti Dewa sudah ada yang menjaga, jadi Elsa tak perlu memikirkannya. Ia lebih memikirkan Ibu Esa sekarang. Bagaimana jika terjadi apa-apa disaat tidak ada seorang pun yang menjaga nya? Dan Esa tentu saja menyetujui nya dengan semangat.

Tak berapa lama, Esa keluar. Lalu mengulurkan tangan padanya, "Ayo kita sholat." Elsa menggeleng tak mau—ia masih mengantuk. Alih-alih menyambut tangan Esa, dia lebih memilih menutup mata nya kembali. Tapi Esa tak menyerah, "Ayo bangun." Elsa malah menarik jaket itu, menutupi kepala nya. Esa tertawa geli melihat tingkah menggemaskan itu. Jelas sekali kalau Elsa adalah anak manja. Esa masih tak menyerah, ia menarik jaket itu memakai nya kembali ditubuh jangkungnya. Terlihat sekarang muka Elsa merenggut tak suka, bibir nya mencebik sebal. "Ayo kita sholat. Dasar anak manja."

Elsa yang dikatai seperti itu, membelalakkan matanya. Selama ini tak pernah ada yang protes jika ia bertingkah manja, entah itu Daddy dan Mommy bahkan Dewa. Mereka pasti dengan senang hati memanjakan Elsa, tapi Esa malah mengatai nya. Karena sebal, Elsa berjalan mendahului Esa. Tak peduli jika Esa menertawai nya atau tidak. Elsa hanya ingin menunjukkan jika ia tidak manja—dengan berjalan sendirian di depan.

Sesekali Elsa menengok kebelakang untuk melihat Esa mengikuti nya. Awas saja jika Esa berani mengerjainya, akan ia laporkan pada Daddy. Saat menuju musholla, mereka berpapasan dengan sepasang orang tua. Seorang bapak dan ibu tua, mereka terlihat berpegangan tangan mesra, berjalan bersisian bersama menuju musholla. Elsa tersenyum sopan pada mereka, Esa pun begitu. Mereka mempersilahkan sepasang orang tua itu berjalan duluan di depan. Sekarang posisi Elsa tepat di samping Esa.

KONTRADIKSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang