Part 37

22 9 0
                                    

Sekarang jam istirahat pertama, kantin sudah mulai penuh oleh siswa-siswi yang kelaparan atau sekedar ingin bergosip ria saja. Esa, dan Septihan pun begitu. Septihan sejak tadi menarik-narik Esa agar segera pergi kekantin sebelum ramai seperti sekarang.

Septihan mengedarkan pandangannya mencari bangku yang kosong, sedangkan Esa hanya diam disamping Septihan nampak bosan.

"Mending kita beli makan dulu, Sep." Saran Esa.

Septihan memalingkan pandangannya pada Esa, "Iya deh, daripada kelamaan."

Mereka berpencar—membeli makanannya masing-masing, lalu berkumpul lagi pada tempat mereka tadi berdiri. Septihan yang selesai lebih dulu, ia menunggu Esa dengan pandangan bosan. Yang dipandangi hanya tersenyum tanpa merasa bersalah sama sekali. Septihan mencebik, "Dari tadi cacing di perut gua udah demo minta makan."

Esa tertawa pelan, "Tapi belum sampai anarkis kan?"

"Alhamdulillah, belum sampai merusak fasilitas di perut."

Mereka berjalan bersisian sampai pada meja yang sedari tadi Septihan incar. Keduanya makan dengan tenang tanpa terburu-buru, kalau kata Septihan, "Makan itu harus khidmat, resapi pelan-pelan, kunyah seksama, telan dengan penuh perasaan, dan sampai perut dengan aman dan nyaman."

Tapi kunyahan nya berhenti saat ia teringat sesuatu, lalu tersenyum jahil, "Gua denger tadi ada yang pake motor KLX nih?"

"Iya, gua pinjem, Sep."

"Elu apaan sih Sa. Motor itu udah punya elu, bisa-bisa nya ngomong begitu. Septihan tampan murka."

"Gua gak enak aja."

"Enakin. Eh iya kenapa tumben tuh motor dipake?"

Esa menatap nanar makanannya, merasa nafsu makannya seketika menghilang saat teringat Ibu. Ia menghela napas lelah sembari berujar, "Ibu kecelakaan."

"Uhuk...uhuk...uhuk..." Septihan tersedak—terbatuk-batuk dengan keras, lalu meminum air di depannya dengan cepat. "Hah? Kok bisa?" Tanya nya panik.

"Keserempet motor. Gua juga gak tau gimana kejadian awalnya, tapi ibu udah bilang kalau dia cuman keserempet."

"Terus sekarang keadaan nya gimana?"

"Udah baikan sih, ibu cuman luka ringan sama syok sedikit. Makanya belum bisa pulang."

Septihan tersenyum lega, ia sungguh khawatir dengan keadaan ibu nya Esa. Dia harus segera menelpon Papa dan Mama nya, kalau perlu RT dan RW di tempatnya tinggal harus diberitahu.

"Ah iya, gimana kalau abis pulang sekolah, gua jenguk ibu lu, Sa?"

Esa mengangguk antusias, "Boleh banget. Pasti ibu senang kedatangan elu."

"Pastilah. Ibu pasti seneng karena yang datang tampan." Ucap Septihan bangga.

Kedua nya diam kembali, Septihan sibuk dengan makanan nya tapi Esa hanya diam. Memutar-mutar sendok nya, dan menatap kosong ke depan.

"Elu kenapa sih, Sa?" Tanya Septihan

Esa menggeleng cepat agar tersadar dari lamunannya, "Hah?"

"E-lu ke-na-pa?" Tanya nya kembali dengan nada sebal.

"Elu tau kan, Sep. Pak Aldi yang ngebiayain gua sekolah disini."

"Iya, kenapa?"

"Kemarin dia datang, nawarin gua buat kuliah di luar negeri."

Dahi Septihan berkerut bingung, "Swasta?"

"Luar negeri."

"Iyaaa, luar negeri itu swasta kan?"

KONTRADIKSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang