Part 40 - Malu

15 10 0
                                    

Akhirnya mereka sampai di depan gerbang rumah Elsa. Baru saja Elsa turun dari motor, suara teriakan Mommy nya sudah terdengar.

"Elsaaaaa..." Teriak Mommy sambil berlari kemudian memeluknya erat.

Elsa merasa risih, dia lalu mencoba melepaskan pelukan itu ditambah ada Esa membuat nya semakin malu. "Mommy... lepas. Gak enak ada temen Elsa."

Mommy hanya mencebik sebal, lalu melirik seseorang yang ada disamping Elsa, mulut nya terbuka dan matanya melotot terkejut, "Esa, ya?" Tanya nya.

Esa hanya tersenyum canggung sambil menyalami ibu Elsa, "Iya Tante, saya Esa."

"Wah kamu sudah besar ya, Mommy harus kasih tau Daddy kalau begini. Ayo masuk dulu." Ucap nya sambil merangkul Esa berjalan masuk kerumah. Elsa yang ditinggal mengerutkan keningnya bingung, lalu mulai menyusul mereka.

Teriakan Mommy masih terdengar, ia memanggil Daddy dan menyuruh bibi agar membuat makanan yang spesial. Memang nya Esa siapa sih? Elsa tidak pernah melihat Mommy nya seantusias ini. Daripada gendang telinganya rusak karena teriakan Mommy nya, Elsa memutuskan pergi ke kamar untuk ganti baju dan membereskan barang-barangnya.

Sebelum turun, ia mengecek dulu ponselnya. Ada begitu banyak pesan dari Natalia, tapi semua isinya sama.

"Jangan terima Dewa!!!"

Elsa hanya tersenyum geli membacanya, tanpa berniat membalas pesan itu. Ia sendiri masih bingung tentang perasaan nya. Elsa tak ingin kehilangan Dewa, tapi ia ingin Esa. Ah... Kenapa masalah hati begitu rumit.

Suara teriakan Mommy yang memanggil nya, membuat ia buru-buru turun kebawah. Disana sudah ada Daddy yang mengobrol dengan Esa sambil minum kopi dengan santai. Elsa mendekat lalu duduk disamping Daddy nya.

"Kamu masih kenal dia, little girl?" Tanya Daddy, tapi Elsa malah memukul pelan bahu nya karena malu jika ia masih dipanggil dengan sebutan little girl dihadapan Esa.

"Elsa kenal, kan dia temen Elsa." Jawabnya.

"Kamu gak ingat siapa dia?" Tanya Daddy lagi.

Elsa mengerutkan keningnya sambil berpikir—mengingat kembali apakah ia pernah bertemu Esa sebelumnya, tapi Elsa rasa belum pernah, "Enggak." Jawabnya singkat.

"Kamu itu masih muda udah pikun, pelupa banget. Dia itu teman kamu kalau lagi dirumah Oma."

"Memang Elsa sering kerumah Oma?" Tanya Elsa semakin bingung. Ia tidak ingat apa-apa tentang masa kecil nya, mungkin memori itu sudah hilang atau mungkin tertimbun oleh memori-memori baru. Kecuali memori bersama kakaknya yang tidak akan pernah ia lupakan, itu terlalu berharga untuk ia buang sia-sia.

Daddy lalu tertawa sambil menaruh kopi nya yang hampir tumpah, "Kamu dulu sering banget kerumah Oma, bahkan kamu pernah mengamuk karena tidak mau pulang."

"Iya?"

"Bahkan kakak mu sering membela mu agar tidak dimarahi Daddy, dan Mommy."

Ucapan Daddy membuat nya semakin merindukan kakak. Kenapa kakak nya tidak pernah datang ke mimpinya? Apa kakak tidak rindu padanya? Entah sudah berapa ratus celengan rindu Elsa pada kakaknya, tapi sampai sekarang belum bisa ia pecahkan. Ia ingin sekali berjumpa lagi dengan kakaknya. Usia mereka tidak terpaut jauh, hanya 9 bulan. Mereka selalu bersama. Selalu melindungi, dan menyayangi satu sama lain. Bahkan saking tidak terpisahkannya, Elsa ingin satu angkatan sekolah dengan kakaknya. Sampai kejadian itu terjadi. Membuat mereka harus terpisah jauh, ada jarak tak kasat mata yang menghalangi mereka.

Tangan Elsa kini berkeringat dingin, bahkan gemetar. Daddy yang melihat nya langsung memeluk Elsa, menenangkan putri kesayangannya itu. Mengelus lembut rambut Elsa sampai pada punggungnya, begitu terus berulang-ulang. Sampai Elsa merasa baikan lalu mengurai pelukannya. Ia tidak boleh bersedih lagi ketika mengingat kakaknya, karena ia sudah berjanji.

"Tangan kamu kenapa?" Tanya Daddy baru tersadar ada perban di pergelangan tangan, dan siku Elsa.

Elsa menggeleng pelan seakan mengatakan ini bukan apa-apa, "Cuman ke gores sesuatu pas praktek di lab tadi."

"Lain kali hati-hati ya."

"Aye aye captain."

Elsa tersenyum kecut, entah sudah berapa kali ia berbohong hanya karena menyelamatkan Dewa. Kemudian ia memandang Esa yang menggelengkan kepala padanya berkata kalau berbohong itu bukan hal baik. Elsa hanya menghela napas lelah.

"Esa itu teman kamu disana. Kalian sering banget main bareng." Ujar Daddy.

Elsa kembali teringat foto masa kecil Esa yang menaiki ayunan, "Jadi foto ayunan itu, ayunan yang ada di depan rumah Oma?" Tanya Elsa pada Esa.

"Iya hehe."

"Kamu masih ingat aku?"

"Awalnya nebak-nebak, baru sekarang aku yakin kalau kamu emang anak manja yang aku kenal dulu bahkan sampai sekarang, hahahaha..."

Daddy nya bahkan tertawa terbahak-bahak, lihatlah sekarang mereka bersama-sama mengatai nya anak manja. Daddy menyebarkan segala aib nya pada Esa, begitupun sebaliknya. Elsa hanya mencebik sebal lalu meninggalkan mereka menuju ruang makan kemudian memeluk Mommy nya dari samping.

"Anak Mommy kenapa, hm?"

"Daddy sama Esa seneng banget ngetawain aib Elsa." Ucapnya sebal.

Mommy hanya tertawa, "Yaudah sekarang, suruh mereka kesini buat makan." Elsa kembali untuk memanggil Daddy dan Esa untuk makan sambil berjalan menghentak-hentakkan kaki nya.

Mereka tampak sangat akrab, bercengkrama sampai lupa waktu. Daddy nya sangat nyaman berbincang dengan Esa, Mommy nya pun begitu. Sangat berbanding terbalik saat Dewa kesini. Setiap Dewa kesini selalu bertepatan dengan pekerjaan Mommy dan Daddy nya yang tidak bisa ditinggal. Jadi, belum pernah sekalipun orang tua nya melihat Dewa. Tapi hanya butuh satu kali Esa datang kesini, suasana rumah yang tadi nya sepi menjadi cukup ramai. Esa tidak terlihat canggung tapi tetap sopan. Bahkan Esa tidak melupakan sholat Ashar, dan Maghrib nya. Tidak lupa, Esa pun selalu mengajak Elsa.

Setelah selesai sholat Maghrib, Esa berniat pamit untuk kembali kerumah sakit. Ia tadi menitipkan ibu nya sebentar kepada Septihan dan Natalia, tapi saat sampai rumah Elsa, ia malah ditawari masuk. Dan ia merasa tak enak jika harus menolak, setelah bertukar pesan dengan Septihan, ternyata dia pun tidak keberatan untuk menemani ibu nya sedikit lebih lama.

Elsa rasanya ingin ikut kembali kesana, tidur bersama dilorong rumah sakit, memakai jaket Esa, dan bersandar di pundak tegap itu. Tapi hayalannya buyar, saat Esa mengelus kepalanya sambil berbisik, "Jangan sedih, syafakillah anak manja."

Elsa hanya bisa diam memandang Esa yang perlahan menjauh dengan motornya. Saat Esa sudah tidak tampak lagi dimatanya, ia buru-buru berlari ke kamar, masuk kedalam selimut lalu berguling-guling tidak jelas. Merasa gemas dengan sikap Esa tadi, ia malu tapi tak bisa dipungkiri jika kini jantung nya berdetak kencang, dan mukanya sudah seperti kepiting rebus.

Ah...Esa sungguh tak terduga.

Big Hug

sahaa__

KONTRADIKSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang