Prolog - Esa

121 20 3
                                    

"Tak ada sebuah malam atau masalah yang bisa mengalahkan cahaya mentari pagi dan sebuah harapan"

Bernard Williams

🐋🐋🐋

Sang mentari belum menampakkan cahaya nya di timur, tapi Esa sudah terbangun sejak 1 jam yang lalu. Ia melaksanakan sholat subuh dilanjutkan dengan tadarus Al-Qur'an lalu belajar sampai matahari terbit.

Esa Mahendra merupakan siswa teladan di SMA Bina Bangsa, yaitu salah satu sekolah yang cukup terkenal dengan segala fasilitas, dan prestasi nya serta dengan biaya yang sangat amat mahal.

Esa hanya anak seorang tukang kebun. Ayah nya bekerja sebagai tukang kebun disalah satu rumah orang kaya, sedangkan ibu nya hanyalah seorang ibu rumah tangga.

Esa mendapatkan bantuan dari bos ayah nya untuk bersekolah disana. Sehingga ia mati-matian untuk tidak mengecewakan bos ayahnya dan kedua orang tuanya.

Apapun akan Esa lakukan untuk membahagiakan mereka.

🐋🐋🐋

"Saaa... ayo sini kita sarapan bersama!" Teriak sang Ibu yang sedang menyiapkan sarapan untuk Esa.

"Bentar bu. Esa sedang menyiapkan alat sekolah dulu." Ucap Esa sambil berteriak agar ibu nya mendengar.

"Kenapa tidak dari kemarin sih.. kau ini pemalas." Ujar ibu kesal karena Esa tidak kunjung datang.

"Kalau Esa pemalas mana mungkin Esa selalu peringkat pertama hahaha." Canda Esa kepada sang Ibu sambil berlari kearah meja makan.

"Sarapannya hanya ada ini saja tidak apa-apa ya Sa." Ucap ibu lemah. "Tidak apa Bu, asal masakan Ibu pasti semua terasa enak hehehe."

Setelah selesai sarapan, Esa berpamitan kepada ibu untuk pergi kesekolah. Sambil menaiki sepeda ia kadang bersenandung kecil atau menghapal materi yang ia baca tadi pagi.

Saat diperjalanan dia bertemu dengan Septihan, sahabatnya.

"Oy pagi Sa!" Sapa Septihan semangat sambil mengendarai motor Kawasaki KLX 250 miliknya.

"Pagi juga Sep!" Balas Esa ramah sambil terus bersepeda.

"Gua duluan ya Sa. Gua belum belajar buat ulangan dadakan hari ini." Tutur Septihan panik sekaligus tak enak meninggalkan Esa.

"Tak apa-apa Sep. Lu duluan aja, Gua mah selow."
"Oke Sa, Gua duluan ya!"

Esa kembali melanjutkan bersepeda sambil menikmati udara pagi yang penuh dengan ketenangan dan juga harapan.

Saat sudah sampai di depan gerbang Esa berucap dalam hati "jika memang ini takdir baik untuk nya mohon permudahkan segalanya, disekolah inilah semua asa dan impian digantungkan."

Big Hug

sahaa__

KONTRADIKSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang